lebih suka buku-buku terbitan lama
Jakarta (ANTARA) - Terkenal sebagai salah satu sentra buku terbesar di wilayah Jakarta pada tahun 1980-an, ternyata eksistensi Pasar Buku Kwitang di Jakarta Pusat masih terjaga dan menjadi lokasi "thrifting" buku anak muda

Suasananya tetap sama, begitu tiba, para pengunjung akan disambut oleh tumpukan buku yang disusun tinggi di atas sebuah rak kayu berwarna cokelat tua. Baik buku pelajaran sekolah, kamus, novel, komik, buku biografi, hingga sastra klasik, semuanya sudah dikelompokan sesuai nama penerbitnya.

Para pedagang juga mengelompokkan buku berdasarkan jenisnya yakni buku bekas, baru dan buku lama yang sudah tidak dicetak oleh penerbit ke rak yang berbeda. Tujuannya tak lain adalah untuk mempermudah proses jual-beli, sehingga pengunjung tidak perlu memakan waktu lama untuk menantikan buku yang dicari.

Jika kita mendekat ke arah rak-rak itu, secara samar akan tercium bau antik dari kertas buku. Harga bukunya pun bervariasi, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp500 ribu sesuai dengan kategori langka di pasaran.

Bedanya, pengunjung tidak bisa lagi melihat ramainya pedagang yang berjualan hingga tepi jalan raya. Kini, tinggal tersisa sekitar 30 pedagang yang masih berusaha bertahan berjualan dengan cara tradisional atau membayar langsung di tempat.

Baca juga: Merawat goresan karya sastra masa lalu

Baca juga: "Ulang-Alik ke Masa Lalu" ungkap manuskrip maestro sastrawan Indonesia


Pedagang buku bekas duduk di sekitar tumpukan buku yang disusun tinggi di Pasar Kwitang, Jakarta Pusat. (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Menurut Subhil Khair Tobing, seorang pedagang yang sudah berjualan lebih dari tiga dekade, Pasar Buku Kwitang yang sempat jadi salah satu latar film "Ada Apa Dengan Cinta?" yang rilis di tahun 2002 itu, sudah tidak lagi identik dengan sebutan kaki lima.

Sebab para pedagang yang masih berjualan di Pasar Kwitang, saat ini berusaha bertahan di tiga ruangan yang di sewa bersama-sama sebagai lapak berjualan buku. Beberapa bahkan sampai mendaftarkan diri di e-commerce untuk memperluas skala dagangnya.

Subhil bercerita kalau hal ini terjadi semenjak pemerintah melakukan penertiban kawasan di sekitar tahun 2007 lalu. Ratusan pedagang dipencar ke tempat yang berbeda. Ada yang berjualan di Blok M Square, Jakarta Selatan juga di Pasar Kenari, Jakarta Pusat.

Sedangkan pedagang yang tidak mampu bersaing dengan kemajuan teknologi yang makin canggih, dan mempermudah masyarakat membaca buku dari balik layar ponsel pun, memilih untuk gulung tikar serta kembali ke kampung halaman.

Pedagang lain, Acho, menimpali belum lagi ketika pandemi COVID-19 melanda seluruh dunia. Makin sepilah tempat itu dibuatnya. Walaupun demikian ia dan rekan-rekannya percaya, kehadiran mereka akan tetap dibutuhkan oleh masyarakat.

Jadi tempat thrifting buku

Kepercayaan itu akhirnya terbukti setelah pandemi makin membaik tahun demi tahun. Acho mengatakan pembeli perlahan kembali datang. Tidak bervariasi seperti dulu, tapi kebanyakan justru anak-anak muda yang berkunjung.

Alasannya sederhana, mereka datang untuk menekuni salah satu jenis hobi yang sedang tren di dalam masyarakat yakni thrifting atau mencari barang bekas yang masih bagus dan layak digunakan kembali.

Seperti Fatir misalnya, mahasiswa itu mengatakan thrifting tidak melulu bicara soal pakaian, tapi juga dengan buku guna memenuhi keperluan sehari-hari.

Kedatangannya di Pasar Kwitang disebabkan oleh tugas kuliah, yang mengharuskannya mencari sebuah buku. Sayangnya, buku itu merupakan terbitan lama dan sudah tidak dijual di toko buku mal-mal besar.

Sang paman kemudian menyarankannya untuk berkeliling di lapak para pedagang. Baru saja tiba di lokasi, Fatir tertegun dengan masih adanya tempat yang menjual banyak buku bekas yang disusun rapih.

Sejak kecil, ia memang lebih suka membaca buku konvensional. Jiwanya seolah meronta dan memintanya untuk tidak hanya membeli buku kuliah, tapi juga buku sastra yang menarik dibaca kala memiliki waktu senggang.

“Aku lebih suka buku-buku terbitan lama. Jadi ketika ke toko-toko yang lain, itu sudah enggak ada. Jadi lebih baik cari yang lama dan supaya enggak nambah limbah juga enggak sih? Jadi kita recycle (daur ulang) buku yang sempat orang baca, kita baca ulang lagi gitu,” ucapnya.

Perasaan yang sama juga dialami oleh Keisya. Mulanya, ia juga datang hanya untuk mencari sebuah buku hukum sebagai pelengkap tugas perkuliahan.

Namun setelah berkeliling, Keisya turut berfikir untuk membeli jenis lain sebagai sarana menghibur diri dari sibuknya aktivitas sehari-hari.

Tumpukan berbagai jenis buku bekas yang dijual di Pasar Kwitang, Jakarta Pusat. (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)
Menurutnya, adanya e-book yang mudah diakses melalui ponsel tak melulu membawa dampak baik. Sebab bagi beberapa orang, membaca buku dengan memegangnya secara fisik jauh lebih nyaman.

Perasaan menikmati sebuah alur kisah lembar demi lembar sambil membayangkannya, menjadi keseruan sendiri yang tidak bisa didapatkan dari e-book. Keseruan thrifting semakin Keisya rasakan saat memikirkan dampak positif lain bagi dirinya jika membeli buku konvensional.

“Membaca buku langsung itu jadi lebih mudah dimengerti dan untuk aku sendiri jadi lebih mudah diserap. E-book itu walaupun gampang dibaca, bakal sulit untuk dilihat lama-lama bagi orang berkaca mata sepertiku. Jadi aku memilih untuk membaca buku konvensional, buku asli,” ujar Keisya.

Pengunjung lainnya, Ilham, juga mengaku berburu buku bekas lebih asyik dilakukan bersama teman-teman. Usai menentukan judul buku yang ingin dibeli, mereka akan berlomba-lomba menemukannya.

Pengalaman ini menjadi keasyikan tersendiri karena bisa lebih fokus pada satu sama lain, dibandingkan sibuk dengan gawai masing-masing.

Dari kunjungan tersebut, Acho mengatakan kalau faktor utama yang menyebabkan anak-anak muda lebih sering berkunjung adalah harga buku bekas lebih terjangkau dan bisa didapatkan walau merupakan terbitan lama.

Menurutnya, harga di toko buku besar di zaman sekarang terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kondisi keuangan anak-anak.

“Apalagi buku-buku mahasiswa dari penerbit-penerbit tertentu yang harganya bukan main,” kata Acho.

Sementara faktor selanjutnya yakni kualitas waktu untuk membaca lebih baik dari buku konvensional dibanding internet karena pembaca terhindar dari berbagai gangguan berupa notifikasi aplikasi dalam ponsel, timbulnya niat mengganti bacaan dalam waktu singkat maupun cahaya pada layar ponsel yang bisa merusak kesehatan mata.

Memang betul kunjungan generasi muda jadi harapan pedagang untuk bisa mengarungi kemajuan zaman. Tetapi di sisi lain, Acho berharap kedatangan mereka tidak hanya untuk mengoleksi buku-buku saja, tapi juga membacanya sehingga ilmu atau informasi yang di jual di Pasar Kwitang bisa diwariskan pada anak cucu selanjutnya.

Pasar Buku Kwitang memang masih bertahan. Namun, keberadaannya di masa depan sangat bergantung pada minat baca masyarakat Jakarta saat ini.

Baca juga: Heru minta pembangunan Pasar Kwitang Dalam harus selesai akhir 2023

Baca juga: Pasar buku bekas Senen tertekan sektor e-commerce

Baca juga: Menghidupkan "surga baru" belanja buku di Jakarta


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2023