Jakarta (ANTARA) - Karena dikelola oleh manusia, sebuah badan usaha atau perusahaan juga memiliki jiwa sosial yang mendorongnya rajin beramal melalui dana CSR. Proyek kebaikan itu merupakan “iklan” yang ampuh memikat minat konsumen, hingga mereka rela menjadi pelanggan setia. Pada bagian lain, banyak perusahaan justru lebih senang "buang-buang" uang hanya untuk bertarung dalam perang iklan tak berkesudahan.

Kesadaran masyarakat akan gaya hidup berkelanjutan yang ramah lingkungan kian tinggi saat ini. Maka perusahaan yang sejalan dengan tren itu tentu saja mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terhadap produsen consumer goods atau barang konsumsi, masyarakat biasanya akan membalas tunai dengan membeli produknya. Terlebih jika perusahaan itu gemar beramal baik, seperti membangun fasilitas umum yang amat dibutuhkan warga, hampir pasti mereka kemudian tumbuh menjadi konsumen loyal.

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan tanggung jawab semua perusahaan dan menjadi kewajiban bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Apabila tidak dijalankan, perusahaan akan dikenai sanksi.

Aturan mengenai CSR dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), serta PP 47/2012 sebagai aturan pelaksanaannya. Mengenai besaran anggaran diperhitungkan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Meski ada regulasi dan juga sanksi, tidak semua perusahaan menjalankan kewajiban menyalurkan dana sosial itu. Banyak perusahaan yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam secara besar-besaran dan menimbulkan kerusakan hebat, namun abai terhadap pelaksanaan CSR untuk lingkungan terdampak. Sementara, perusahaan yang tidak meninggalkan jejak kerusakan malah giat beramal terhadap lingkungan dan masyarakat.

Bagaimana pimpinan perusahaan membawa pengaruh pada baik buruk jiwa corporate yang terbangun. Ada perusahaan yang telah memiliki nama besar dengan laba berlimpah, tetapi tidak menonjol dalam kegiatan beramal. Atau sebaliknya, perusahaan yang semula biasa saja, tapi karena punya jejak kebaikan di mana-mana membuat namanya makin dikenal masyarakat luas.

Masyarakat kita umumnya memiliki memori yang bagus untuk mengingat kebaikan dan bakal membalasnya dengan kesetiaan. Maka penyaluran dana sosial secara baik dan tepat sasaran adalah proses menanam budi yang membuat perusahaan consumer goods memanen konsumen setia.

Berbeda dampak dengan iklan atau promosi diskon, perusahaan yang tulus menanam budi kebaikan di tengah masyarakat akan memperoleh limpahan berkah dari bisnis yang dijalankannya. Seperti peribahasa “Apa yang ditanam, begitulah yang dituai”.

Lain halnya perusahaan yang berorientasi keuntungan semata tanpa menyisihkan laba yang diterimanya untuk program CSR, dia tidak memenangkan hati masyarakat yang merupakan konsumen. Apalagi bila operasional produksi sehari-hari menimbulkan dampak lingkungan yang tidak diantisipasi atau diminimalisasi, tidak pula memberi kompensasi kepada lingkungan sekitar, sungguh hari pembalasan itu akan datang. Berapa banyak perusahaan yang pada akhirnya runtuh dalam kebangkrutan karena menjadi langganan demonstrasi warga atau pegiat lingkungan.

 

Menanam budi

Kelanggengan dalam berbisnis amat dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan bersahabat dengan lingkungan dan masyarakat. Berbuat baiklah pada keduanya, dengan merawat sumber daya alam dan pandai menyenangkan hati warga masyarakat.

Bercerita tentang akhlak perusahaan, banyak yang bisa dicatat dari jejak amal baik mereka. Sebutlah perusahaan jamu tersohor yang memiliki pabrik di Semarang, Jawa Tengah. Dia membina para petani rempah di sekitar kawasan pabrik, membangun koperasi petani, dan mendampingi pelaku UMKM. Produsen jamu dan obat herbal modern terbesar di Indonesia itu juga mendirikan laboratorium Penelitian Rempah Indonesia dengan mengundang para ilmuwan perguruan tinggi untuk memberi ilmu dan masukan. Hasil riset kemudian ditularkan juga kepada para pelaku UMKM untuk dikembangkan.

Tak berhenti di situ, perusahaan itu juga memfasilitasi ratusan pedagang jamu di kota-kota besar untuk menikmati mudik gratis setiap tahun.

Kemudian ada produsen makanan minuman yang mengklaim sebagai pemimpin di pasar produk turunan susu melakukan pembinaan terhadap peternak sapi perah di berbagai daerah, mengupayakan regenerasi peternak muda dan memberdayakan perempuan. Program pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dalam bentuk pengolahan limbah ternak yang dijadikan kompos atau pupuk organik, program yang menguntungkan bagi peternak sekaligus petani.

Sementara perusahaan lain ada pula yang memberi perhatian pada fasilitas MCK dan sanitasi, di daerah-daerah agak terbelakang yang belum memiliki fasilitas itu secara memadai. Dan aksi peduli lingkungan seperti gerakan tanam pohon, bersih sungai dan pantai, merawat sumber mata air juga banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan baik BUMN maupun swasta.

Pelaksanaan program CSR atau pembinaan lingkungan pada umumnya masih berkaitan dengan bidang yang digeluti perusahaan bersangkutan atau dengan kata lain perusahaan memang berkepentingan untuk melakukan hal itu. Meski begitu, masyarakat yang merasa terbantu dan turut merasakan manfaatnya tentu tak lupa untuk berterima kasih. Jangan lupa, masyarakat yang telah terpaut hatinya mereka bisa menjadi pelanggan setia seumur hidupnya.

Berdasarkan produk dan sepak terjangnya, berbagai perusahaan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Produk bagus, iklan elegan (seperlunya), banyak beramal. Perusahaan ideal di mata konsumen.

2. Produk kontroversial, iklan keren, banyak beramal. Semisal produsen rokok yang iklannya keren dan menginspirasi, mereka juga mendirikan berbagai yayasan yang membina para atlet dan memberi beasiswa bidang olahraga. Terhadap perusahaan yang seperti ini, masyarakat kadang dilema untuk mendukungnya, produknya meracuni anak muda tapi sepak terjangnya memajukan olahraga yang baik untuk generasi muda.

3. Produk bagus tapi terlibat dalam perang iklan yang tidak sehat, padahal mereknya sudah cukup kuat, bahkan telah menjadi top of mind. Yang seperti ini menjadi kontraproduktif.

 

Perang iklan

Anda yang sehari-hari memiliki waktu untuk menonton televisi tentu dapat merasakan adanya perang iklan yang tengah berlangsung akhir-akhir ini. Bak bocah berantem yang saling ejek dan saling sindir satu sama lain. Yang satu tidak menggunakan galon sekali pakai atas alasan prinsip keberlanjutan, yang satu lagi menggunakan galon sekali pakai demi higienitas. Di tengah masyarakat, galon sekali pakai itu biasanya berakhir menjadi pot tanaman.

Yang lebih mencengangkan, di antara jenama yang terlibat perang iklan adalah perusahaan besar yang produknya telah merajai pasar. Bahkan bila dia berhenti beriklan pun konsumen tak akan lupa dengan merek itu karena sudah begitu melekat di benak.

Perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) tersebut sedang membuang-buang uang untuk membiayai perang iklan, yang padahal rivalnya tergolong pemain baru di bidang produksi air mineral. Iklan produk air mineral kenamaan itu muncul di stasiun televisi dalam frekuensi yang teramat sering, setiap sekian menit sekali, seperti kampanye doktrinisasi.

Penonton akan melihatnya sebagai perang yang tidak imbang. Ada pemain baru yang lancang melawan dedengkot, namun lucunya si pemain senior masih terpancing untuk meladeninya. Bisa jadi, dengan melakukan perang melawan merek ternama, kesempatan bagi pemain baru untuk pansos.

Sementara keduanya sibuk perang iklan, banyak juga merek air mineral tidak dikenal, mereka tidak beriklan di manapun, tapi beredar di pasaran dan laku. Air mineral kemasan gelas itu biasanya tersedia di masjid-masjid, acara pengajian, kondangan, takziyah, yang biasa dibeli warga dalam jumlah banyak.

Selain produk AMDK, perang iklan di layar kaca juga terjadi pada produk kecap dan sabun cuci piring serta lainnya dengan pola hampir serupa, saling sindir dan menjelekkan kompetitor. Sebuah perang yang tidak sehat, buang-buang uang, dan tidak mengundang simpati penonton (konsumen) melainkan sebaliknya.

Sumber data periklanan global, Nielsen Ad Intel, mencatat belanja iklan di Indonesia pada 2022 senilai 19,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp295,23 triliun, ini merupakan angka belanja iklan terbesar di Asia. Bayangkan bila uang sebanyak itu dipergunakan untuk proyek kebaikan.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023