Jakarta (ANTARA) - Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Malaysia Hermono mengatakan bahwa penghapusan mandatori hukuman mati di Malaysia tidak bersifat absolut karena keputusan untuk meloloskan pengajuan peninjauan kembali (PK) sepenuhnya di tangan hakim.

"Jadi, boleh-boleh saja mengajukan PK, tapi bukan berarti semua PK yang diajukan akan diloloskan oleh hakim," kata Dubes Hermono dalam FGD Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Hermono menyebutkan bahwa Pemerintah Malaysia telah mengamendemen Undang-Undang hukuman mati dan hukuman seumur hidup pada 12 September 2023.

Melalui amendemen tersebut hukuman mati di Malaysia tidak lagi bersifat mandatori. Amendemen tersebut tidak menghapus hukuman mati, tetapi hanya menghapus sifat mandatori.

Melalui amendemen tersebut, terpidana dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk bisa memperoleh keringanan hukuman.

Namun, meski memungkinkan PK untuk memperoleh keringanan hukuman, amendemen tersebut tidak secara otomatis akan meloloskan semua PK yang diajukan karena keputusan tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan hakim.

"Jadi, bisa saja hakim menolak PK itu untuk kasus-kasus tertentu," kata dia.
Baca juga: Imigrasi Malaysia ancam hukum berat pelindung pekerja non prosedural

Ia mencontohkan kasus-kasus yang kemungkinan pengajuan peninjauan kembalinya akan ditolak antara lain kasus semacam pemberontakan kepada pemerintah, ancaman terhadap raja, kasus narkotika, terorisme dan lainnya.

Ia menilai bahwa amendemen tersebut perlu benar-benar dipahami masyarakat sehingga mereka tidak salah paham dengan narasi penghapusan mandatori hukuman mati dan hukuman seumur hidup.

"Jadi, ini harus dipahami betul. Jangan sampai nanti kalau ada warga kita yang mengajukan PK, lalu ditolak hakim, lalu pemerintah yang disalahkan," kata dia.

Ia berharap masyarakat tidak berekspektasi terlalu tinggi bahwa PK yang mereka ajukan akan dikabulkan, karena semua keputusan ada di tangan hakim. Hakim akan membuat keputusan berdasarkan kasus per kasus.

"Jangan sampai terjadi ada ekspektasi yang keliru, ekspektasinya terlalu tinggi. 'Wah berarti akan bebas'. Itu belum tentu, tergantung case by case, dan itu kewenangan absolut dari hakim," kata dia lebih lanjut.
Baca juga: PPI Malaysia luncurkan Pusat Bantuan Hukum

Hermono menyebutkan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu RI) terdapat total 157 warga negara Indonesia (WNI) dijatuhi hukuman mati di Malaysia. Meski demikian, dari 157 tersebut, hanya 78 WNI yang kasusnya dapat diajukan PK.

"Jadi, yang terdampak amendemen ini adalah kasus-kasus yang sudah inkrah, yang sudah final. Sudah selesai prosesnya, dan ini boleh mengajukan semacam PK," kata Hermono.

Sebanyak 78 kasus tersebut terdiri dari 69 kasus yang dijatuhi hukuman mati dan 9 kasus yang dijatuhi hukuman seumur hidup.

Dari 78 kasus atau WNI yang boleh mengajukan PK, terdapat 42 orang yang pengajuan PK mereka telah didaftarkan, sementara 36 lainnya masih dalam proses untuk didaftarkan.

Baca juga: Indonesia minta Malaysia tingkatkan penegakan hukum cegah penculikan

Pewarta: Katriana
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023