Bandung, (ANTARA News) - Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Dr Agus Rahmat mengemukakan, krisis air di Jawa Barat akan meluas ke daerah-daerah lain selain Kota Bandung, Bekasi dan Bogor. "Kemungkinan Cianjur dan Cirebon akan menyusul, karena kebutuhan air bersih lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan air," katanya kepada pers usai acara Semiloka Peran Media dalam Konservasi Sumber Daya Air di Bandung, Rabu (5/7). Menurut dia, khusus untuk Kota Bandung ketersediaan air lebih kecil daripada kebutuhan air, karena jumlah penduduk yang terlalu padat, dan lokasi yang parah terjadinya krisis air adalah pusat-pusat kota dan daerah industri yang "rakus" air. Penduduk Kota Bandung sangat padat, dan kondisi airnya memprihatinkan, bahkan di beberapa lokasi akan terjadi selisih yang sangat besar antara ketesediaan air dengan kebutuhan, yakni pada daerah di pusat-pusat kota dan daerah Bandung utara. Agus juga menjelaskan adanya "gap" antara cadangan air saat musim hujan dengan cadangan air saat musim kemarau yang perbandingannya 10:1. Dikatakannya, berdasarkan data Dewan Pemerhati Kehutanan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), potensi air bersih di Jabar saat musim hujan sebanyak 81,4 miliar meter kubik per tahun, dan musim kemarau 8,1 miliar meter kubik per tahun, sementara air yang dibutuhkan per tahun mencapai 17 miliar meter kubik. Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya krisis air adalah dengan merelokasi penduduk ke luar pusat kota Bandung, sehingga ketersediaan air di pusat kota dapat tercukupi. Ancaman nyata bila terjadi krisis air, kata dia adalah bahwa masyarakat yang tidak mampu harus membeli air bersih dengan harga yang lebih tinggi, karena letaknya jauh dari sumber mata air dan masyarakat akan lebih banyak mengkonsumi air minum kemasan. Ketika ditanya apakah keberadaan industri air mineral dapat mengurangi ketersediaan air, menurut dia terlebih dahulu harus dilakukan upaya memetakan air untuk mengetahui air mana yang boleh dikonsumsi oleh pabrik dan mana yang bisa dikelola secara komersil. "Sebetulnya kita punya peta dasar dan potensi bahayanya, tetapi sosialisasi skala petanya belum dilakukan," ujarnya seraya mengatakan bahwa pengambilan air harus dilakukan secara teratur. Sementara itu Koordinator Kelompok Kerja Air (K3A), Dine Andriani mengatakan, kencenderungan krisis air di Kota Bandung dapat menjadi bencana, apalagi adanya lahan resapan yang tertutup dan dari waktu ke waktu semakin bertambah luas. Dine juga mengemukakan, lonjakan jumlah penduduk akan meningkatkan pemakaian air, sementara upaya konservasi sumber daya air relatif minim, sehingga kondisi air akan terus berkurang, baik kualitas maupun kuantitasnya. Menurut dia, lahirnya UU No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dan PP No 16 Tahun 2005 tentang pengembangan sistem penyediaan air munum malah justru memperparah kondisi sumber daya air. Dikatakannya, para investor banyak yang melirik layanan jasa air sebagai suatu usaha yang prospektif dengan investasi yang relatif aman, sehingga sumber mata air yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari dijadikan komoditas yang bersifat komersil.(*)

Copyright © ANTARA 2006