New York (ANTARA) - Dolar mencapai level tertinggi dalam 11 bulan terhadap yen Jepang pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB) dan level tertinggi dalam hampir 10 bulan terhadap sekeranjang mata uang setelah Federal Reserve pekan lalu memberi isyarat bahwa mereka dapat menaikkan suku bunga lebih lanjut dan kemungkinan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu lebih lama.

Prospek suku bunga hawkish dari The Fed membuat imbal hasil obligasi Pemerintah AS lebih tinggi dan meningkatkan permintaan terhadap greenback.

Yen juga terpuruk setelah Bank Sentral Jepang (BoJ) pada Jumat (22/9/2023) mempertahankan suku bunga ultra-rendah dan janjinya untuk terus mendukung perekonomian sampai inflasi secara berkelanjutan mencapai target 2,0 persen, menunjukkan bank tersebut tidak terburu-buru untuk menghentikan program stimulus besar-besaran.

"Menurut Gubernur BoJ Kazuo Ueda, belum ada tanda-tanda inflasi yang stabil secara berkelanjutan sehingga BoJ akan dengan sabar melanjutkan pelonggaran moneter berdasarkan kerangka saat ini. Hal ini jelas merupakan peredam bagi yen," kata Esther Reichelt, analis valas di Commerzbank, dikutip dari Reuters.

Dolar mencapai 148,97 yen, tertinggi sejak 25 Oktober.

Mata uang Jepang masih berada dalam jarak yang sangat dekat dengan 150, tingkat yang oleh sebagian pengamat pasar dilihat sebagai batas yang akan memacu intervensi valas dari otoritas Jepang serupa dengan tahun lalu.

Yen juga terpuruk karena kesenjangan antara imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun dan imbal hasil obligasi Jepang melebar, dengan imbal hasil utang AS meningkat lebih cepat dibandingkan Jepang.

"Performa AS lebih buruk dibandingkan Jepang," kata Bipan Rai, kepala strategi valas Amerika Utara di CIBC Capital Markets di Toronto. "Setiap kali kita melihat pelebaran imbal hasil obligasi pemerintah AS versus JGB (obligasi Jepang), terutama untuk jangka waktu 10 tahun, hal tersebut cenderung menular ke dolar/yen sedikit lebih kuat."

Kesenjangan antara imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun dan Jepang mencapai 382 basis poin pada Senin (25/9/2023), selisih terluas sejak 10 November.

Indeks dolar mencapai 106,10, tertinggi sejak 30 November.

Euro turun menjadi 1,05750 dolar, terendah sejak 16 Maret. Euro melemah terhadap dolar AS di tengah pandangan bahwa Bank Sentral Eropa kemungkinan tidak akan menaikkan suku bunga lebih lanjut.

"Sementara The Fed masih sangat bergantung pada data, dan pertemuan demi pertemuan, ECB pada dasarnya telah mengisyaratkan bahwa mereka berada pada tahap akhir saat ini, sehingga bahkan sedikit perubahan nada antara kedua bank sentral dalam pikiran kita sudah cukup untuk menjaga euro/dolar agak tertahan untuk saat ini," kata Rai.

Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee mengatakan pada Senin (25/9/2023) bahwa inflasi yang tetap berada di atas target The Fed sebesar 2,0 persen masih merupakan risiko yang lebih besar dibandingkan kebijakan ketat bank sentral yang memperlambat perekonomian.

Rekor suku bunga simpanan ECB yang tinggi dapat membantu mengurangi inflasi hingga 2,0 persen, kata Presiden ECB Christine Lagarde pada Senin (25/9/2023), mengulangi panduan bank yang tidak menjanjikan atau mengesampingkan kenaikan suku bunga lebih lanjut.

Sementara itu, ketika bank sentral secara global mengindikasikan bahwa mereka kemungkinan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, para pedagang fokus pada area yang berpotensi menimbulkan masalah.

Ini termasuk pasar perumahan di Australia, Kanada dan Selandia Baru, di mana hipotek (KPR) dengan suku bunga mengambang adalah hal yang umum.

Kekhawatiran tersebut "berpotensi membuat dolar sedikit menguat pada tingkat indeks," kata Rai.

Baca juga: Penurunan yen picu ancaman intervensi, dolar menguat di awal sesi Asia
Baca juga: Yuan kembali menguat, naik 2 basis poin jadi 7,1727 terhadap dolar
Baca juga: Rubel Rusia diperdagangkan dekat 96 terhadap dolar AS

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2023