Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan Indonesia perlu memiliki regulasi selevel undang-undang untuk menghadapi perkembangan pesat tentang kecerdasan buatan (AI).

"Indonesia perlu memiliki regulasi yang jelas dan kuat," kata Bamsoet usai menghadiri pengukuhan Sinta Dewi sebagai Profesor dan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Siber Fakultas Hukum Universitas Padjajaran di Graha Sanusi Hardjadinata, Bandung, Jawa Barat, Selasa.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Bamsoet menilai bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan perkembangan kecerdasan buatan dalam berbagai bentuk platform.

Perkembangan kecerdasan buatan, menurut dia, tidak hanya mendatangkan manfaat, tetapi juga bisa mendatangkan malapetaka bagi kehidupan umat manusia bila tidak disikapi dengan bijak.

Kecerdasan buatan juga berpotensi mengaburkan pandangan manusia pada kebenaran dan kebohongan, sekaligus berpotensi dalam penyalahgunaan data pribadi untuk tindakan kriminal dan kejahatan lainnya.

Baca juga: Sejumlah negara berlomba atur AI, ini daftarnya

Ketua DPR RI ke-20 itu menyebut regulasi yang kuat diperlukan, khususnya dengan memberikan penguatan kepada peran intelijen, baik terhadap Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, hingga Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri.

Saat ini, lanjut Bamsoet, pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia hanya mengacu kepada Dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045 yang dikeluarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Dokumen tersebut perlu diperkuat dengan adanya regulasi yang lebih kuat selevel undang-undang, peraturan presiden, ataupun peraturan pemerintah, yang dapat mengatur penggunaan, etika, keamanan, serta perlindungan terhadap tenaga kerja dalam setiap pengembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia," ujar mantan ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan itu.

Bamsoet juga mendorong pembentukan undang-undang tentang kecerdasan buatan untuk mengantisipasi kejahatan di dunia siber yang semakin pesat.

Beberapa negara, seperti Singapura, Jerman, dan China, telah membentuk angkatan siber sebagai matra tersendiri. Pasukan siber China diprediksi menjadi yang terbesar di dunia dengan mencapai 145 ribu personel.

"Sebagaimana ditekankan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, dalam kajian Lemhannas, Indonesia juga perlu mulai mempersiapkan pembentukan angkatan siber; sehingga bisa memperkuat tiga matra yang sudah ada, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU)," katanya.

Baca juga: Pedoman etika AI perlu untuk hadapi gangguan informasi baru

Dosen tetap Pascasarjana Universitas Borobudur dan Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni (IKA) Unpad itu memaparkan setidaknya sudah ada 60 negara dunia yang mengeluarkan kebijakan terkait kecerdasan buatan, termasuk Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, yang bahkan memiliki AI Security Council.

Bahkan, Presiden AS Joe Bidden juga sudah mengajukan AI Bill of Rights, yang isinya antara lain memastikan hak-hak warga negara dan dukungan dalam pengembangan dan inovasi kecerdasan buatan.

Indonesia saat ini hanya memiliki dua undang-undang (UU), yakni UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Menurut Bamsoet, kedua UU itu belum kuat untuk mengatasi berbagai permasalahan di dunia siber dan digital.

"Indonesia perlu memiliki UU keamanan dan ketahanan siber nasional. Mengingat sepanjang tahun 2021 saja, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat setidaknya ada 1,6 miliar anomali trafik atau serangan siber yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk ratusan hingga ribuan potensi serangan siber yang ditujukan kepada ring satu, Istana Negara," ujarnya.

Baca juga: PBB: Teknologi baru butuh tata kelola yang baru dan inovatif

Dalam kesempatan itu, Bamsoet, yang juga Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum (PADIH) Unpad, mengapresiasi pencapaian akademis Sinta Dewi, yang telah ditetapkan sebagai profesor dan guru besar di Ilmu Hukum Siber FH Unpad.

Dalam orasinya, Sinta Dewi mengangkat tema tentang "Manfaat dan Risiko Penggunaan AI dan Pengaruhnya Terhadap Data Privasi: Dari Lex Informatica menuju Lex Reformatica".

Turut hadir dari jajaran pimpinan Unpad dalam acara tersebut antara lain Rektor Rina Indiastuti, Wakil Rektor Ida Nurlinda, Wakil Rektor Yanyan Mochamad, Wakil Rektor Arief Sjamsulaksan, Ketua Senat Akademik Ganjar Kurnia, Ketua Dewan Profesor Arief Anshori, Dekan FH Idris, Ketua Senat FH Efa Laela, serta Guru Besar FH Ahmad M. Ramli.

Baca juga: Presiden: Jangan takut hadapi kecerdasan buatan

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023