Pemerintah perlu sampaikan proporsional ke publik sama-sama memberi edukasi ke publik bahwa sesuatu yang naik turun itu wajar karena bahan bakunya naik turun, tetapi ketika nanti turun ya harus responsif turunkan sehingga konsumen menjadi terbiasa da
Jakarta (ANTARA) - Harga minyak mentah dunia yang dalam beberapa bulan terakhir terus merangkak naik hingga di atas 90 dolar AS per barel dikhawatirkan bisa memicu adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.

Pengamat energi Komaidi Notonegoro yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute di Jakarta, Jumat, mengungkapkan harga minyak dunia adalah komponen terbesar dalam pembentukan harga BBM.

Menurut Komaidi, komponen harga minyak dalam pembentukan harga BBM sekitar 55-60 persen bergantung pada kualitas minyak atau jenis bensin atau solar karena kualitas ada yang ringan dan berat.

Sementara 40 persen lainnya adalah komponen distribusi dari biaya pengiriman, pengolahan di kilang sampai margin semua rantai bisnis, termasuk pajak-pajak baik PPN atau Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

"Artinya kalau 40 persen tetap ketika harga minyak naik atau yang 60 persennya ini akan menjadi bobot, karena lebih dari 50 persen otomatis naik , kalau ditahan agak berat kecuali yang naik hanya pajak mungkin pajak porsinya tidak terlalu besar mungkin bisa ditahan, tapi ketika yang naik porsinya 55-60 persen ketika bergerak naik daya ungkitnya besar. Jadi mau nggak mau disesuaikan," kata Komaidi.

Komaidi menyatakan bahwa fakta tentang krusialnya harga minyak dunia terhadap harga BBM nonsubsidi harus terus diinformasikan ke masyarakat. Sehingga bisa meminimalisasi potensi gejolak yang timbul saat ada kenaikan harga BBM, ketika harga minyak dunia juga naik.

"Pemerintah perlu sampaikan proporsional ke publik sama-sama memberi edukasi ke publik bahwa sesuatu yang naik turun itu wajar karena bahan bakunya naik turun, tetapi ketika nanti turun ya harus responsif turunkan sehingga konsumen menjadi terbiasa dan merasa diperlakukan secara adil," ujar Komaidi.

Sementara itu, Josua Pardede, ekonom dari Bank Permata, menyatakan memang sudah sewajarnya badan usaha memiliki kewenangan dalam menentukan harga BBM nonPSO (nonsubsidi) karena BBM tersebut sama sekali tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi naik turunnya harga BBM nonPSO tentu saja terkait dengan harga minyak mentah dan nilai tukar, distribusi dan biaya angkut.

"Serta juga mempertimbangkan aspek persaingan dengan badan usaha hilir migas lainnya," kata Josua.

Beberapa korporasi yang bermain di bisnis BBM di Tanah Air juga sudah melakukan perubahan harga mengikuti pergerakan harga minyak dunia.

Harga minyak dalam beberapa pekan terakhir bertengger di atas level 90an dolar AS per barel dan terus bergerak naik. Mengutip Reuters, Brent berjangka untuk pengiriman November pada Jumat ini, berada di posisi 95,38 dolar AS per barel.

Sementara harga minyak Brent berjangka pengiriman bulan Desember yaitu 93,10 dolar AS per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun menjadi 91,71 dolar AS per barel.

Baca juga: Pertamina Patra Niaga komitmen selesaikan PSN di Indonesia Timur

Baca juga: Indonesia tekankan komitmen turunkan 40 persen konsumsi energi

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023