Amplop pertama...berisi Rp2.000, sedangkan amplop berikutnya berwarna putih dengan stempel resmi keraton berisi Rp30.000.
Yogyakarta (ANTARA) - Di bawah terik Matahari, Haryanto memicingkan mata kirinya, sedangkan mata sebelah kanan menatap tajam seturut ujung senjata laras panjang yang ia arahkan ke langit.

Setelah terdengar aba-aba komando dari pandego: "Siaga !", jari telunjuknya langsung menyentuh bagian pelatuk senapan Lee Enfield   (LE) dengan posisi gagang menempel pipi sebelah kanan.

Beberapa saat kemudian, letusan senapan para prajurit Keraton Yogyakarta serempak memekakkan telinga disambut tepuk tangan dan teriakan warga serta wisatawan yang memadati halaman Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta.

Tembakan salvo itu langsung disusul tabuhan tambur, bendhe, dipadu tiupan suling, serta slompret prajurit sebagai penghormatan arak-arakan gunungan Grebeg Maulud/Jimawal 1957 dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah tiba di halaman masjid.

Haryanto yang tak lain bagian dari prajurit atau Bregada Jagakarya lalu menurunkan kembali senapan buatan Inggris yang masih ia pegang erat itu.

Dia kemudian berbaris, lalu berjalan diiringi gending prajurit meninggalkan lima gunungan yang hampir ludes diserbu warga.

Lima gunungan itu adalah Gunungan Kakung, Wadon, Gepak, Dharat, dan Gunungan Pawuhan berisi hasil Bumi sebagai sedekah Raja Yogyakarta kepada rakyatnya.

Kala beristirahat di halaman Bangsal Kamandungan Keraton Yogyakarta, Haryanto bercerita bahwa sebenarnya tak ada peluru yang keluar dari senapannya.

Letusan tembakan tadi berasal dari senapan jenis SP-1 buatan Pindad yang ditenteng beberapa prajurit di barisan paling depan, sementara dia dan sebagian besar prajurit lain hanya bertugas memeragakan menembak saja.

"Dulu waktu masih muda, senapan saya betul-betul diisi peluru, sekarang sudah tidak," ucap pria berusia 72 tahun itu menggunakan krama inggil atau bahasa Jawa halus.

Sehari sebelum gelaran Grebeg Maulud, pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian di Pasar Kotagede, Yogyakarta, itu telah menyiapkan berbagai perlengkapan. Mulai dari sikepan, celana motif lurik, topi mancungan, dan sepatu pantofel warna hitam yang akan ia pakai keesokan harinya.

Haryanto selalu mempersiapkan matang setiap mendapatkan tugas dari Keraton dan baginya tak ada alasan bermalas-malasan sedikit pun untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang abdi dalem.

Warga Kota Gede Yogyakarta itu telah mengabdikan diri sebagai Bregada Jagakarya sejak masih perjaka, sekitar tahun 1987.

Keputusannya menjadi abdi dalem bukan iseng atau sekadar demi mendapatkan penghormatan di tengah masyarakat.

Komitmen Haryanto mengabdi berangkat dari rasa kagumnya kepada Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX yang dianggap sebagai sosok tanpa pamrih memperjuangkan kesejahteraan rakyat Yogyakarta.

Bapak satu anak itu mengaku pernah gagal ikut seleksi abdi dalem melalui jalur pendaftaran prajurit keraton pada 1977. Kala itu, nilai kemampuan baris-berbarisnya belum bisa menembus 30 besar dari sekitar 80 orang pendaftar. Tiga tahun kemudian impiannya baru terwujud setelah mencoba seleksi lagi dan lulus.

Sejak saat itulah ia bertugas di berbagai upacara keraton, termasuk mendapat giliran piket jaga di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
 
Haryanto (72), Bregada Jagakarya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. ANTARA/Luqman Hakim


Ikhlas mengabdi

Selepas acara Grebeg Maulud, Haryanto yang masih memangku nasi kotak kemudian menunjukkan kekuncah dalem atau honor dari keraton berbungkus dua buah amplop.

Amplop pertama berwarna cokelat dengan simbol keraton bertuliskan "Kawedanan Keprajuritan Karaton Ngayogyakarta" berisi uang Rp2.000, sedangkan amplop berikutnya berwarna putih dengan stempel resmi keraton berisi Rp30.000.

Baginya, menjadi prajurit keraton memang bukan untuk mencari nafkah, melainkan untuk ikhlas mengabdi.

Di usianya yang sudah senja, Haryanto justru bersyukur dan merasa bangga masih dilibatkan untuk ikut menjaga serta merawat tradisi dan budaya di Yogyakarta.

"Semangat kula niku saget nderek nguri-uri kabudayan (semangat saya itu bisa ikut merawat budaya)," ucapnya.

Kerutan di wajah Haryanto yang terbentuk akibat faktor usia seolah lenyap tersapu tindak tanduknya yang santun, ramah, dan murah senyum.

Dia masih tampak berenergi kendati iring-iringan lampah bregada mengharuskannya berjalan dari Masjid Gedhe menuju Bangsal Kamandungan atau tempat beristirahat para abdi dalem yang jaraknya ratusan meter.

Haryanto yang telah menjadi Abdi Dalem Prajurit Keraton Yogyakarta sejak masa kepemimpinan Hamengku Buwono IX tidak menyimpan resep jamu tradisional khusus untuk menjaga tubuhnya tetap bugar.

Ia mengaku sekadar menjalankan ajaran dari Keraton Yogyakarta untuk selalu berlatih mengelola emosi dengan berlapang dada dalam situasi apa pun.

Dengan mengelola emosi seperti itu, ia merasa mampu menghindari amarah yang menurutnya dapat membuat detak jantung lebih cepat dan mengganggu pola kerja saraf.

"Harus menerima apapun yang terjadi. Tidak membenci, tidak emosi. Meskipun sebetulnya bisa marah tapi tetap bisa mengendalikan," tutur dia.

Haryanto masih mengingat nasihat langsung Sri Sultan Hamengku Buwono IX bahwa manakala seseorang telah menetapkan diri menjadi abdi dalem maka mesti berupaya berlaku baik, bijaksana, bersikap tenang, tidak boleh berbohong, serta tidak merugikan orang lain.

Masih banyak abdi dalem atau prajurit Keraton yang berusia lebih sepuh dari Haryanto.

Sebagian mereka memiliki kondisi tubuh yang bugar dan masih mampu mengayuh sepeda belasan kilometer untuk berangkat dari rumah menuju Keraton.

Walaupun tidak ada gaji bulanan, menurutnya banyak yang ia peroleh selama menjadi abdi dalem. Selain kepuasan dan rasa bangga, ia mengaku mendapat banyak keberkahan dan ketenteraman hidup yang tak dapat dinilai dengan materi.
Sejumlah Abdi Dalem Keraton Yogyakarta membawa gunungan saat Grebeg Maulud/Jimawal 1957 di kawasan Keraton Yogyakarta, Kamis (28/9/2023). Keraton Yogyakarta mengeluarkan enam gunungan yang diperebutkan oleh masyarakat di Masjid Gede Kauman, Kompleks Kepatihan serta Pakualaman dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/hp (.)



Regenerasi Prajurit

Pria kelahiran Kota Gede, Yogyakarta itu khawatir seiring kemajuan zaman diiringi perkembangan media sosial yang kian pesat, tidak ada lagi generasi muda yang kelak mau meneruskan jejaknya.

Apalagi, tidak sedikit generasi muda di Yogyakarta yang menurutnya mulai meninggalkan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi sehari-hari.

Haryanto sendiri belum berhasil membujuk anak semata wayangnya mendaftar, bahkan sekadar berminat menjadi abdi dalem keraton.

Kekhawatiran Haryanto masuk akal sebab abdi dalem prajurit adalah salah satu komponen penting eksistensi tradisi Keraton Yogyakarta sampai saat ini.

Meski demikian, munculnya beberapa generasi muda yang ikut bergabung menjadi abdi dalem beberapa waktu terakhir sedikit menenangkan kekhawatiran Haryanto.

Satya Dharma adalah satu dari sedikit generasi muda Yogyakarta yang tak butuh iming-iming khusus untuk bergabung menjadi bagian pasukan Bregada Keraton Yogyakarta.

Sebagai warga asli Yogyakarta, pria berusia 22 tahun itu mengaku hanya ingin ikut melestarikan kekayaan budaya yang tumbuh di tanah kelahirannya.

Kemampuannya bermain alat musik mengantarkannya masuk dalam korps musik Bregada Bugis Keraton Yogyakarta.
Satya Dharma (22), Bregada Bugis Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (ANTARA/Luqman Hakim)


Pria kelahiran Kota Yogyakarta tahun 2021 itu mengaku mendapat banyak pelajaran berharga meski belum lama menjadi abdi dalem, khususnya pendidikan budi pekerti yang mampu menyelamatkannya dari efek negatif globalisasi.

"Setidaknya saya bisa belajar unggah-ungguh (tata krama) dan berbicara halus dengan orang yang lebih sepuh," ujar lulusan SMK 2 Yogyakarta yang kini menjadi tenaga teknis non-ASN di Pemkot Yogyakarta ini.

Pada 2022, Kawedanan Keprajuritan atau divisi yang menaungi prajurit-prajurit sebagai pengawal budaya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah dua kali membuka pendaftaran dengan sasaran generasi muda berusia 17 tahun sampai 35 tahun.

Wakil Penghageng Kawedanan Keprajuritan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Wiraningrat sadar betul bahwa arus modernisasi berpeluang melenyapkan minat anak muda menjadi abdi dalem keraton.

Namun, tantangan itu tak lantas membuat Keraton Yogyakarta merasa perlu menyuguhkan iming-iming atau daya tarik khusus demi memikat generasi muda.

Betapa pun sulit merekrut kaum muda, kemurnian jiwa serta niat kuat dan tulus ikhlas mengabdi adalah aspek fundamental yang tetap menjadi pertimbangan Keraton Yogyakarta menerima seseorang menjadi calon abdi dalem.

Setelah lolos penerimaan pun, setiap calon abdi dalem harus melalui masa magang sebelum akhirnya dinyatakan resmi menjadi abdi dalem.

"Menjadi abdi dalem harus murni dari hati. Kita juga jelaskan kalau sudah menjadi abdi dalem tidak ada gaji seperti ASN karena banyak yang berharap menjadi abdi dalem itu mempunyai gaji bulanan sekian juta," ujar Wiraningrat.







 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023