Jakarta (ANTARA) - Di dalam ruang penyimpanan yang terletak di area belakang Museum Sejarah Jakarta atau dikenal dengan Museum Fatahillah, sejumlah ahli konservasi tenggelam dalam pekerjaannya. Mereka tengah mengonservasi benda-benda bermaterial kayu milik koleksi Museum Sejarah benda-benda diduga cagar budaya yang belum dipublikasikan untuk publik.

Sejauh ini, tim yang terhimpun dalam naungan Pusat Konservasi Cagar Budaya (PKCB) Dinas Kebudayaan (Disbud) DKI Jakarta telah mengonservasi 40 benda budaya yang tersimpan di ruang penyimpanan Museum Sejarah. Benda-benda itu, termasuk meja, peti, hingga ornamen bangunan. Ada lagi, sebuah prasasti VOC bertarikh 1734 yang belum rampung dikonservasi.

“Ini tadinya pecah belah, terbagi menjadi tiga,” kata tenaga ahli konservator Budi Santoso menjelaskan tentang prasasti tersebut kepada ANTARA.

Di sudut lain, Budi menunjukkan sebuah papan kayu. Setelah dikonservasi, papan tersebut rupanya lukisan wayang yang tergambar di dua sisi. Lukisan itu unik karena pada satu sisi tergambar wayang yang mengenakan pakaian militer ala Eropa dan sepatu pantofel. Tokoh wayang tersebut tengah duduk, sementara di hadapannya tampak wayang lain bersimpuh. Pada sisi lain, tokoh wayang tergambar sebagaimana aslinya, tanpa atribut Eropa.

Sejarah di balik lukisan itu belum diketahui dengan jelas. Sama seperti benda-benda budaya lainnya yang ada di ruang penyimpanan tersebut, termasuk prasasti VOC bertarikh 1734 yang belum diketahui tujuan pembuatan serta letak asalnya.

Sebetulnya, benda budaya yang termasuk dalam kategori objek diduga cagar budaya (ODCB) juga penting untuk dilestarikan di samping cagar budaya yang sudah ditetapkan pemerintah. Kegiatan konservasi yang dilakukan PKCB DKI Jakarta di ruang penyimpanan Museum Sejarah itu menjadi salah satu contohnya.

Saat ini, PKCB juga sedang melakukan konservasi pada lima objek lain, salah satunya Monumen Patung Dirgantara. Lembaga yang dulunya bernama Balai Konservasi Cagar Budaya itu menargetkan konservasi terhadap 654 objek budaya pada tahun ini yang terdiri dari 650 koleksi museum, tiga objek patung, serta satu Benteng Martello di Kawasan Cagar Budaya Pulau Kelor.

Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) menilai, ODCB berupa benda, bangunan, maupun struktur, memiliki urgensi untuk dilestarikan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, pelestarian ini harus melalui mekanisme dan prosedur sesuai peraturan perundang-undangan.

ODCB juga wajib didaftarkan kepada instansi yang berwenang untuk diproses lebih lanjut dan ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat sebagai cagar budaya jika memenuhi kriteria. Pendaftaran ini harus melalui proses pengkajian terlebih dahulu yang dilakukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

Penetapan ODCB menjadi cagar budaya memiliki urgensi untuk pelestarian guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Pengembangan cagar budaya juga sangat relevan dengan pengembangan kebudayaan Indonesia yang bertujuan untuk memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.
Dua konservator memulas permukaan meja kayu dengan menggunakan cairan lapis pelindung di Museum Fatahillah, Jakarta (27/9/2023). ANTARA/Rizka Khaerunnisa/aa.

Memperpanjang usia

Suatu saat, benda peninggalan sejarah akan rusak dan lapuk dimakan usia, terlepas dari sekuat apapun material yang digunakan. Sebagai bagian dari produk masa lalu, eksistensi benda tersebut juga tidak banyak. Mengingat hal ini, maka konservasi memainkan peran penting.

Tindakan konservasi diibaratkan sebagai upaya memperpanjang usia benda bersejarah, sehingga dapat dinikmati generasi masa depan. Meski secara resmi belum ditetapkan sebagai cagar budaya, ODCB menyimpan potongan kisah masa lalu yang suatu hari akan terungkap.

Mungkin di era 30 tahun yang akan datang akan ketemu data baru. Begitu dikaitkan, (benda peninggalan sejarah) ini terhubung dengan sejarah. Tapi kalau ini hilang, maka data itu hilang.

Berbekal keyakinan itu, maka konservasi benda-benda budaya harus mempertimbangkan sisi arkeologis dengan mempertahankan keasliannya. Konservasi juga perlu memperhatikan sisi teknis dengan menggunakan bahan kimia yang seaman mungkin dan tidak merusak material dasar dalam waktu jangka panjang.

Apabila konservasi dilakukan sembarangan, perubahan yang esensial riskan terjadi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi konservator, terutama menghindari munculnya pencipta kedua pada saat memperbaiki karya lukisan bersejarah.

Untuk menyiasati cuma ada satu pelukis, maka konservator memperbaikinya dengan cara diberi lapis pelindung terlebih dahulu. Setelah itu, baru ditusir. Sehingga pada saat terjadi kesalahan, bisa diangkat, tidak rusak.

Konservasi termasuk tindakan yang unik karena setiap benda budaya memiliki penanganan yang berbeda-beda, bergantung pada tingkat kerapuhan dan kerusakan serta kualitas material.

Material dasar pada benda budaya termasuk tantangan lain bagi konservator. Material organik, seperti kain dan kertas, lebih sulit untuk diperbaiki. Tantangan ini, menurut Kepala PKCB DKI Jakarta Norviadi Setio Husodo, pernah dialami lembaganya saat mengonservasi buku milik Bung Hatta pada 2021.

Pada saat itu, buku milik Bung Hatta sudah mengalami kerusakan, seperti berlubang parah, punggung buku yang sudah rusak, serta kertas yang rapuh dan lembab. Untuk mengatasi hal itu, PKCB memutuskan untuk bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional, karena mereka memiliki alat yang lebih canggih untuk konservasi buku.

Penggunaan teknologi cukup membantu dan memudahkan pekerjaan konservasi. Teknologi tertentu juga memungkinkan penelusuran usia dan riwayat atau asal-usul benda, seperti berapa kali benda itu telah melalui konservasi. Karena itu PKCB sangat membutuhkan adanya peningkatan teknologi guna mendukung kegiatan konservasi.

Keterbatasan peralatan konservasi menjadi kendala yang dihadapi PKCB. Mayoritas alat-alat konservasi, termasuk juga bahan kimia tertentu, tersedia di luar negeri, sehingga harus melakukan impor. Sementara Provinsi DKI Jakarta tengah menggalakkan pentingnya pemakaian produk dalam negeri.

Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi kompetensi untuk melakukan konservasi dan memahami penggunaan peralatan di laboratorium juga termasuk kendala lain di dalam kegiatan pelestarian cagar budaya dan ODCB.

Oleh sebab itu, PKCB tidak hanya merekrut tenaga ahli dari latar belakang arkeologi, melainkan juga dari disiplin ilmu lain, seperti kimia, biologi, dan seterusnya. Lembaga konservasi turut melibatkan arsitek, sipil, hingga sejarawan, yang seluruhnya memiliki sertifikasi pelestarian cagar budaya di dalam Tim Sidang Pemugaran (TSP). Arsitek khusus untuk cagar budaya juga dilibatkan di dalam Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

Dalam pelestarian benda-benda peninggalan sejarah yang berkesinambungan, komunitas budaya memiliki peran strategis karena dapat menjadi agen terdepan bagi masyarakat dalam kampanye peduli cagar budaya dan ODCB. Peran ini masih perlu dimaksimalkan, apalagi dengan adanya dukungan kemajuan media komunikasi di masa sekarang.

Upaya pelestarian tidak berhenti pada tindakan konservasi dalam rangka memperpanjang usia dan menyambung potongan sejarah bangsa. Pelestarian harus berlanjut pada tahap pemanfaatan potensi untuk kepentingan masyarakat. Dengan begitu, diharapkan masyarakat dapat memperoleh manfaat yang penuh dari keberadaan cagar budaya dan ODCB.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023