Jakarta (ANTARA) - Deru suara kendaraan roda empat menggema saat melaju di Jalan Tol Angke 2, Kilometer 17, Jelambar, Jakarta, yang membangunkan seorang bocah dari tidur lelapnya. Suara itu membuatnya menyadari bahwa di atas kepalanya bukanlah atap genteng, melainkan hamparan aspal yang tak berujung.

Masih dengan rasa kantuk yang terlihat dari matanya yang sayup terbuka, ia memandang sekeliling kamarnya yang sesak. Sayup-sayup, dia melihat betapa kurangnya akses sirkulasi udara, membuat kamarnya terasa seperti penjara.

Hari itu adalah akhir pekan ia memutuskan untuk keluar dari rumahnya untuk menghabiskan waktu libur sekolah. Dia harus membungkukkan badannya setiap kali melewati tiang penyangga rumahnya, yang juga merupakan tiang penyangga jalan tol. Tingginya tiang-tiang tersebut hanya sekitar 80 sentimeter.

Akhirnya, dia tiba di depan rumahnya. Lorong panjang yang terbentuk dari jarak antara dua jalan tol adalah pemandangan yang selalu dia saksikan dan lalui setiap harinya.

Debu yang terangkat oleh kendaraan roda empat yang melintas di atasnya turun ke lorong itu, bahkan terkadang masuk ke dalam rumahnya, tempat dia beristirahat dan menghabiskan waktu. Debu ini menjadi bagian dari pemandangan sehari-harinya dan juga bisa menjadi ancaman kesehatan bagi dirinya dan 107 orang lain yang tinggal di kolong tol tersebut.

Suasana ini menggambarkan kenyataan bahwa tidak semua warga di Ibu Kota Jakarta memiliki kesempatan untuk tinggal di rumah yang layak.

Harga tanah yang tinggi dan ketersediaan tanah yang minim di Jakarta adalah alasan mengapa permukiman-permukiman seperti ini tumbuh di tempat-tempat yang seharusnya tidak dihuni.

Sebanyak 108 jiwa warga harus menjalani kehidupan di bawah kolong tol karena mereka tidak memiliki akses ke hunian yang layak.

Salah satu warga, S (48 tahun), yang tinggal di bawah kolong tol tersebut, mengungkapkan keinginannya untuk memiliki tempat tinggal yang lebih layak.

“Dulu pernah mencoba tinggal di rumah susun, yang awalnya gratis selama dua hingga tiga bulan, tetapi setelah itu (harus) membayar. Buat ngasih jajan anak saja sulit,” katanya.

Namun, dia tidak menutup kemungkinan untuk pindah ke tempat relokasi yang lebih layak jika pemerintah menggusur permukiman di bawah kolong tol tersebut dan menawarkan harga yang terjangkau serta akses transportasi yang mudah dari tempat kerja ke tempat tinggalnya.

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa akses warga DKI Jakarta terhadap hunian layak selama tiga tahun terakhir tergolong rendah. Pada tahun 2020, hanya 33,18 persen rumah tangga di Jakarta yang memiliki akses ke hunian yang layak, dan angka ini meningkat menjadi 40 persen pada tahun 2021. Namun, pada tahun 2022, akses rumah tangga di Ibu Kota terhadap hunian yang layak turun menjadi 36,23 persen.

Dengan mengacu pada data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sekitar 1,77 juta dari total 2,78 juta rumah tangga di DKI Jakarta pada tahun 2022 masih belum mendapatkan akses ke hunian yang layak.

Salah satu solusi yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi masalah hunian yang layak di Jakarta adalah dengan membangun rumah susun. Namun, tidak jarang masyarakat penghuni permukiman yang tidak layak enggan pindah ke rumah susun yang sudah dibangun pemerintah, dengan alasan takut tidak mampu membayar sewa dan jarak yang jauh dari tempat mereka bekerja.
Sejumlah warga berdiri di kawasan permukiman di bawah Jalan Tol Dalam Kota Cawang-Tomang-Pluit, Jelambar Baru, Jakarta Barat, Selasa (20/6/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menertibkan warga yang tinggal di kawasan tersebut karena dianggap membahayakan keselamatan mereka. ANTARA FOTO/Fauzan

Hunian layak

Mengutip dari lama Kementerian PUPR, rumah yang layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan. Persyaratan ini mencakup sejumlah aspek yang sangat penting. Pertama, struktur bawah/pondasi harus dibangun dengan kokoh dan aman agar mampu menopang bangunan dengan baik. Kemudian, struktur tengah/kolom juga harus dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan kekuatan dan kestabilan pada seluruh bangunan.

Selain itu, balok dan struktur atas harus dipastikan dalam kondisi yang baik dan tidak mengancam keselamatan penghuni.

Tidak hanya itu, rumah yang layak huni juga harus memperhatikan kecukupan minimum luas bangunan. Setidaknya, harus ada sekitar 7,2 hingga 12 meter persegi ruang per orang agar penghuni merasa nyaman dan memiliki ruang yang memadai.

Selain itu, aspek kesehatan penghuni juga sangat penting, termasuk pencahayaan yang memadai untuk menjaga kualitas visual di dalam rumah, penghawaan yang baik untuk sirkulasi udara yang sehat, dan sanitasi yang terjamin untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal.

Menurut pengamat Tata Kota Nirwono Yoga, untuk menciptakan akses hunian layak untuk masyarakat di Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengambil langkah-langkah yang lebih progresif. Salah satunya dengan memperbanyak hunian vertikal seperti rumah susun atau kampung susun sewa.

Lokasi-lokasi strategis yang berdekatan dengan simpul transportasi massal, seperti TransJakarta, KRL, MRT, dan LRT harus dijadikan prioritas. Dengan begitu, aksesibilitas ke transportasi umum akan memudahkan penghuni dalam beraktivitas sehari-hari.

Rumah susun ini nantinya akan diperuntukkan bagi beragam kelompok, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pekerja muda, keluarga muda yang belum mapan, dan generasi milenial.

Untuk menarik minat warga pindah ke rumah susun, pemerintah dapat menawarkan biaya sewa yang sangat terjangkau, serta menyediakan berbagai fasilitas, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk pendidikan, Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk layanan kesehatan, dan Kartu Jakarta Pangan (KJPangan) untuk makanan. Semua ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penghuni rumah susun.

Tidak hanya membangun, pengawasan terhadap penghuni rumah susun juga harus dilakukan secara berkala dan ketat.

Tujuannya adalah agar program ini tidak hanya berhasil dalam pendiriannya, tetapi juga dalam menjaga kualitas hidup dan keberlangsungannya. Dengan demikian, rumah susun menjadi pilihan hunian yang nyaman dan berkelanjutan bagi berbagai lapisan masyarakat di DKI Jakarta.
Seorang warga berjalan keluar dari kawasan permukiman di bawah Jalan Tol Dalam Kota Cawang-Tomang-Pluit, Jelambar Baru, Jakarta Barat, Selasa (20/6/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menertibkan warga yang tinggal di kawasan tersebut karena dianggap membahayakan keselamatan mereka. ANTARA FOTO/Fauzan

Upaya pemerintah

Melihat kondisi tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Secara bertahap, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun hunian layak dan terjangkau melalui beberapa program, seperti rumah susun sewa, rumah susun milik, hunian DP nol persen, dan hunian terjangkau milik.

Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta mencatat dalam lima tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta telah membangun 21.800 unit hunian, sehingga total hunian layak yang disediakan pemerintah sebanyak 280 ribu unit.

Menjawab kebutuhan hunian layak tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dukungan anggaran dan ketersediaan lahan yang memadai menjadi aspek penting dalam perwujudannya.

Secara bertahap, pemerintah berupaya menyediakan hunian yang layak dengan total kebutuhan hunian di DKI Jakarta mencapai 302.319 unit.

Pemerintah juga masih perlu memastikan identitas warga agar penyediaan hunian tepat sasaran untuk warga yang berhak.

Bagi warga pendatang, pemerintah tidak memiliki skema untuk menyediakan hunian yang layak bagi mereka.

Warga non-DKI Jakarta nantinya diarahkan untuk kembali ke daerah asal pada waktunya.

Terlepas dari upaya itu, penyediaan hunian yang layak bagi warga Ibu Kota tanpa terkecuali masih menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah pusat maupun daerah agar pada saatnya bisa menjawab kebutuhan para penghuni kolong tol yang mendambakan hunian yang layak.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023