Jakarta (ANTARA) - Indonesia menyoroti pentingnya regulasi terkait pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam sistem persenjataan militer karena teknologi baru itu dinilai memiliki dampak signifikan terhadap keamanan global.

Isu ini menjadi salah satu topik yang akan diangkat dalam Presidensi Indonesia pada Konferensi Perlucutan Senjata (Conference of Disarmament/CD) yang bakal berlangsung pada 19 Februari hingga 15 Maret 2024 di Jenewa, Swiss.

Wakil Tetap RI untuk PBB dan organisasi internasional di Jenewa, Febrian A. Ruddyard, mengatakan bahwa saat ini pemanfaatan AI dalam sistem persenjataan belum menimbulkan persepsi ancaman dari negara-negara.

Namun, beberapa negara berpandangan bahwa dampak pemanfaatan AI dalam senjata militer bisa menimbulkan dampak yang luar biasa sehingga harus mulai diatur.

“Karena AI ini akan sangat terkait dengan kemampuan suatu negara, jadi makin tinggi kemampuan negara untuk bisa memanfaatkan AI dalam persenjataan militernya maka ini akan dianggap sebagai ancaman oleh negara lain yang belum memanfaatkan hal yang sama,” kata Febrian dalam jumpa pers virtual di Jenewa, Swiss, Selasa.

“Ini yang akan kami coba dorong dalam presidensi kita agar pembahasan mengenai isu ini cepat matang sehingga negara-negara mulai siap melakukan negosiasi mengenai penggunaan AI di kemiliteran,” tambah dia.

Febrian mengatakan isu teknologi baru seperti AI dan Sistem Persenjataan Otonom (Autonomous Weapons Systems/AWS) semakin intensif mengemuka dan dibahas pada berbagai forum terkait perlucutan senjata di Jenewa, antara lain Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW), CD, dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Baca juga: Indonesia dorong dialog global etika pemanfaatan AI dalam militer

Selain isu soal AI, Indonesia juga akan berupaya agar agenda perlucutan senjata nuklir mencapai kemajuan, baik dari segi prosedural maupun substantif.

Indonesia konsisten menyerukan negara-negara pemilik senjata nuklir untuk mengurangi kepemilikan hulu ledak nuklirnya. Namun, upaya tersebut menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya tidak adanya kemajuan signifikan dalam hal implementasi komitmen perlucutan senjata nuklir oleh negara-negara pemilik senjata nuklir.

Pada presidensi CD nanti, Indonesia akan berupaya menjembatani perbedaan dan polarisasi tajam yang saat ini terjadi dalam konteks perlucutan senjata pemusnah massal. Dialog yang konstruktif dan kerja sama yang erat di antara seluruh negara anggota CD mutlak untuk mencapai tujuan perdamaian dan keamanan global, kata Febrian.

Ia mengatakan pendekatan Indonesia selama Presidensi Konferensi Perlucutan Senjata, antara lain mendorong kerja sama dan dialog yang terbuka agar seluruh anggota dapat bersikap lebih fleksibel dan konstruktif dalam proses persidangan.

Indonesia, lanjut dia, juga akan berupaya responsif dan akomodatif terhadap aspirasi anggota, serta meminimalisir ketegangan dan menghindari polarisasi agar persidangan di CD dapat fokus pada isu-isu yang dapat diterima oleh semua pihak.

Sejak dibentuk pada 1979, CD telah melahirkan perjanjian-perjanjian penting terkait perlucutan senjata, yaitu Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), Konvensi Pelarangan Senjata Biologi (BTWC), Konvensi Pelarangan Senjata Kimia (CWC), dan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (CTBT).

Baca juga: Dino Patti Djalal: Indonesia harus bersiap kembangkan AI untuk militer

Baca juga: 61 negara teken seruan aksi penggunaan AI bertanggung jawab di militer

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023