Jakarta (ANTARA News) -  Kalangan perempuan aktivis prihatin dengan pemberitaan  mengenai praktik poligami di media massa, misalnya mengenai istri-istri Eyang Subur.

"Menimbulkan disrespek pada institusi perkawinan. Praktik itu seolah-olah dibolehkan," kata Dwi Rubiyanti Kholifah dari AMAN I(Asian Moslem Action Network) ndonesia.

Dalam konferensi pers yang diadakan siang ini di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, AMAN menyesalkan  pemberitaan mengenai kehidupan para istri dari Eyang Subur yang digambarkan harmonis.

Menurut Khotimun dari Asosiasi LBH Apik Indonesia, pemberitaan tersebut tidak berempati pada perempuan lainnya yang juga berada dalam lingkup praktik poligami.

"Poligami menyebabkan perceraian 12-15 persen. Tahun 2012, dari 654 kasus yang kami terima, 59 diantaranya terkait poligami," kata Khotimun.

Pemberitaan mengenai poligami yang belakangan ini beredar menurut AD Kusumanintyas dari Rahima merupakan pengabaian dari realitas poligami yang lainnya.

"Perempuan tidak bisa memproleh hak-haknya dan seringkali mendapatkan beban dari putusnya perkawinan, misalnya kerugian material dan imaterial," katanya.

Para aktivis ereka meminta kepada praktisi media agar berhenti mengeksploitasi perempuan korban poligami melalui berbagai acara.

Dwi pun menghimbau untuk mengoreksi kembali kebijakan nasional terkait penyiaran dan informasi yang tidak mendidik masyarakat.

Ia juga meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meberikan teguran dan objektif memonitor dan memberikan masukan kepada media massa yang masih memberitakan eksploitasi perempuan korban poligami.

Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013