Jika sedimentasi tak dihentikan, 20 tahun lagi Segara Anakan berpotensi hilang atau menjadi sungai-sungai kecil.
Jakarta (ANTARA) - Di sisi selatan Pulau Jawa ada sebuah laguna yang menjadi pemisah antara pulau yang memiliki nama lain "Jawa Dwipa" dengan Pulau Nusakambangan. Laguna tersebut memiliki nama Segara Anakan.

Segara Anakan merupakan danau air asin yang sebetulnya bagian dari lautan, dan tempat ini menjadi lokasi bermuaranya beberapa sungai sebelum keluar menuju laut lepas. Posisi Segara Anakan berada di Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Selain menjadi koridor pertemuan antarsungai dalam ekosistem, Segara Anakan juga menjadi pusat keberagaman hayati. Peneliti Ahli Utama Bidang Riset Ekologi dan Restorasi Ekosistem Mangrove Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Suyadi menyebut lokasi ini menjadi habitat bagi 43 jenis bakau, lima jenis mamalia, 40 jenis burung, 43 jenis molusca, dan 50-an jenis ikan.

Namun keindahan laguna pemisah Pulau Jawa dengan Pulau Nusakambangan itu tak seelok dan seluas dulu.

Luas dari Segara Anakan kian menyusut akibat volume sedimentasi yang terus datang dan mengendap di laguna ini. Dari hasil riset yang dilakukan oleh BRIN yang berdasarkan Citra Satelit, Segara Anakan pada tahun 1978 memiliki luas 4.150 hektare, lalu tahun 1995 menyusut menjadi 1.575 hektare, dan pada tahun 2023 luas laguna ini tersisa kurang dari 400 hektare.

"Jika sedimentasi tak dihentikan, 20 tahun lagi Segara Anakan berpotensi hilang atau menjadi sungai-sungai kecil," katanya.

Segara Anakan menjadi hilir bagi empat sungai utama, yakni Citanduy, Cimeneng, Cibeureum, dan Cikonde. Hilangnya lahan hijau dan maraknya pembangunan permukiman di wilayah hulu menjadi penyebab volume sedimentasi yang masuk ke tempat ini amat besar.

Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy mencatat total sedimentasi yang masuk ke laguna Segara Anakan sebanyak 5 juta meter kubik per tahun dan yang mengendap sebesar 1 juta meter kubik per tahun.

Artinya, jika dalam kurun waktu 10 tahun tak ada tindakan, maka 10 juta meter kubik lumpur sedimentasi menetap dan akan mengeras di laguna ini.

Bencana yang menanti apabila Segara Anakan Cilacap hilang tak hanya mengubah tatanan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, tapi juga sungai-sungai yang bermuara ke Segara Anakan akan kehilangan tempat 'penampungan', sehingga air dari sungai tersebut akan meluap ke daerah sekitar aliran sungai.



Imbas pendangkalan 

Segara Anakan menjadi rumah bagi masyarakat di Kecamatan Kampung Laut, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan untuk melanjutkan hidup. Namun, karena sedimentasi yang terjadi terus menerus, jumlah ikan yang ada di laguna kian menipis.

Seperti kesaksian Andreas (24) yang merasa kesulitan mencari ikan di Segara Anakan. Kondisi saat ini berbanding terbalik dengan kondisi saat dirinya masih kecil ketika mendampingi sang ayah untuk menangkap ikan.

Saat kecil, hasil tangkapan selalu banyak serta ikan yang didapat berukuran besar. Namun sekarang mendapatkan ikan besar di laguna bak 'rezeki nomplok' oleh Andreas.

Selain itu, Wahyono (58) menyampaikan bahwa ia sempat tinggal di rumah apung hingga tahun 1985. Kini di tempat yang sama, rumah milik kedua orang tuanya sudah berfondasikan semen dan bata.

"Dulu waktu saya kecil bisa mancing di dalam rumah, dan saya sering melihat pesut," ujar Wahyono mengisahkan.

Untuk menyiasati ketidakpastian hasil tangkap, kebanyakan masyarakat sudah beralih menjadi petani tambak yang membudidayakan ikan bandeng dan sidat yang merupakan hewan endemik Segara Anakan.

Dilemanya, lokasi tambak mereka kebanyakan dahulu merupakan lautan tempat mereka mencari ikan.


Upaya penyelamatan 

Pemerintah Kabupaten Cilacap dan BBWS Citanduy terus melakukan upaya untuk menyelamatkan Segara Anakan dari sedimentasi.

Beberapa program yang sudah dilakukan diantaranya yakni pembentukan Project Manager Office Segara Anakan Conservation Program (PMO - SACDP) yang dibentuk pada tahun 1997--2001, dibentuknya Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) pada tahun 2002--2008, serta didirikannya Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pengelola Sumber Daya Segara Anakan (DKP2SKSA).

Ketiga badan ini sama-sama memiliki fungsi konservasi agar keberlangsungan ekosistem di Segara Anakan tetap terjaga.

Selain itu, BBWS Citanduy setiap tahunnya rutin melakukan pengerukan. Tercatat pada tahun 2022 pihak BBWS Citanduy berhasil mengambil sedimen di sepanjang 5.750 meter aliran Sungai Cimeneng, dengan total lumpur yang diambil lebih dari 380 ribu meter kubik.

Adapun untuk Sungai Cikonde, panjang pengerukan aliran sungai yakni 4.700 meter dengan akumulasi volume sedimen yang diangkat yakni 152 ribu meter kubik.

Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga turut menaruh perhatian untuk menyelamatkan Segara Anakan agar tak hilang.

Menurut Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung Kunto Kurniawan, saat ini pihaknya sedang mendorong dibentuknya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kawasan Strategis Nasional di Pangandaran, Kalipucang, Segara Anakan, dan Nusakambangan (KSN-Pancangsanak).

Nantinya dalam perpres tersebut mengatur konservasi untuk melindungi Segara Anakan dari sedimentasi, serta pemanfaatan ekosistem karbon biru.

Langkah jangka pendek berupa pengerukan endapan dan penyiapan regulasi yang bersifat jangka panjang tersebut demi menyelamatkan ekosistem Segara Anakan.

Ikhtiar tersebut bukan saja bermanfaat bagi lingkungan, melainkan juga memberi warisan keberlangsungan hidup bagi generasi mendatang.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023