Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Wacth (ICW) mendesak Polri untuk transparan membuka dokumen pengadaan alat sadap dengan metode "Zero Click" atau Pegasus milik perusahaan industri teknoogi Israel, NSO Group Technologies.

Sejumlah peneliti ICW bersama koalisi masyarakat sipil mendatangi Divisi Humas Polri, Jakarta, Senin, dalam rangka mengajukan permintaan informasi terkait dengan dokumen pengadaan alat sadap Pegasus tersebut, karena adanya kekhawatiran penggunaan alat tersebut dapat merusak demokrasi.

"ICW bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lain mengajukan permintaan informasi terkait dengan dokumen pengadaan sebuah sistem aplikasi yang dikenal Pegasus," kata Peneliti ICW Tibiko Zabar di Humas Polri.

Menurut Tibikor, permintaan tersebut berkaitan dengan temuan IndonesiaLeaks, bahwa Pegasus sudah beroperasi di Indonesia sejak 2018. Polri menjadi salah satu institusi penegak hukum yang menggunakan peralatan asal Israel tersebut.

Bahkan, kata dia, dari temuan IndonesiaLeaks, diduga Pegasus sudah digunakan saat Pemilu 2019 yang menargetkan sejumlah politisi.

"Karena itu, sebagai salah satu upaya masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas dan bagian dari pertanggungjawaban kepolisian sebagai salah satu lembaga yang diketahui berdasarkan data dari Opentender.net yang ICW cek ikut mengadakan 'zero lick' sejak 2017-2018," tutur Tibikor.

Di menjelaskan, dari data situs Opentender.net yang dicek ICW, paket pengadaan Pegasus terlacak tahun 2017 dipesan untuk Polda Metro Jaya dengan nilai kontrak Rp98 miliar. Kemudian, di tahun 2018 kembali diadakan untuk pengembangan piranti dengan nilai kontrak Rp149 miliar.

Baca juga: NSO akan dukung aturan "spyware" internasional

Baca juga: Presiden Prancis tuntut penjelasan PM Israel soal 'spyware' Pegasus


Kedua paket pengadaan tersebut dimenangkan oleh PT Radika Karya Utama, yang berdasarkan penilaian dari website Opentender.net memiliki skor di atas 50 yang berarti memiliki potensi risiko kecurangan sedang.

Adanya kekhawatiran dimaksud di atas, ICW dengan landasan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik serta Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021, bahwa informasi yang diharap-nya seharusnya secara berkala dibuka, terkait dengan kontrak pengadaan.

"Karena itu. lewat mekanisme yang ada kami mengajukan informasi terkait dokumen pengadaan tersebut," ujar Tibikor.

Terkait ancaman merusak demokrasi, Tibikor menyebut, dilihat dari cara kerja alat Pegasus tersebut yang tidak menggunakan tautan atau dokumen, cukup menggunakan nomor ponsel target yang akan disadap. Kemudian, kejadian di luar negeri, merujuk dari laporan Citizen Lab, perangkat Pegasus pernah digunakan untuk operasi pembungkaman melawan demonstran di Thailand tahun 2020-2021, dikatakan 30 orang terinfeksi Pegasus.

"Sebetulnya kalau teman-teman ingat di kasus internasional ketika ada seorang jurnalis di Timur Tengah yang meninggal itu sebenarnya ada dugaan kuat di mata-matai lewat Pegasus," tutur Tibikor.

Kedatangan peneliti ICW dan koalisi masyarakat sipil di Divisi Humas Polri sambil membawa sejumlah poster berisi pesan-pesan, seperti "Waspada Pegasus Polri harus transparan", "Pegasus mengancam demokrasi" dan "Polri harus buka kontrak zero lick instrusion system".

Usai memberikan keterangan kepada wartawan, peneliti ICW dan koalisi masyarakat sipil diterima langsung Kepala Bagian Anev Biro Pengelolaan Data dan Dokumen Divisi Humas Polri Kombes Pol. Iroth Lauren Recky.

Kombes Pol. Iroth Lauren Recky menerima surat permintaan dokumentasi ICW ditandai dengan surat tanda terima tertanggal 9 Oktober 2023.

Baca juga: Mengenal Pegasus, spyware pengintai pesan di smarthphone

Menurut Tibikor, pihaknya memiliki waktu 14 hari untuk mendapatkan akses terhadap informasi tersebut, ICW bakal mengajukan keberatan dan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat.

"Ya kami tentu akan menggunakan mekanisme yang ada yaitu mengajukan keberatan. Bahkan jika ternyata juga masih belum mendapatkan respons ya bukan tidak mungkin kami bisa mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat," kata Tibikor.

Sebagai informasi, Pakar perang dan konflik Timur Tengah Peter Beaumont menilai intelijen Israel yang menggunakan Spyware Pegasus gagal mendeteksi serangan Kelompok Militan Hammas pada Sabtu (7/10).

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023