... terjadi di wilayah perairan yang tumpang tindih antara Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara tersebut... "
Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan penyesalan Filipina atas penembakan kapal nelayan Taiwan dinilai belum cukup untuk memulihkan hubungan kedua negara. Kamis lalu (9/5), satu kapal nelayan Taiwan ditembak Filipina.

"Tanggapan pemerintah Filipina sampai sekarang tidak cukup positif, memuaskan, dan konkret," kata pemerintah Taiwan pada keterangan pers Kamar Dagang dan Ekonomi Taipei (TETO) untuk Indonesia, yang diterima di Jakarta, kemarin.

Pernyataan penyesalan yang tidak berdasar adalah kalimat yang diucapkan juru bicara Kepresidenan Filipina, Edwin Lacierda, yang menyebutkan penyesalan, namun menanggapi kejadian itu sebagai insiden 'yang tidak diinginkan',

Pasalnya, Taiwan menilai kapal aparat Filipina sengaja menembakkan puluhan peluru ke nelayan Taiwan, yang bernama Guang Ta Hsin Nomor 28, dan melanggar peraturan laut internasional serta UNCLOS 1982. Penembakan saat kapal Taiwan memasuki perairan Selat Bashi, Laut China Selatan itu, mengakibatkan seorang nelayan Taiwan meninggal.

"Perilaku yang berlebihan ini sungguh tidak dapat ditolerir oleh masyarakat internasional," tulis pernyataan itu. Secara terpisah, Taiwan menyatakan, terdapat seorang WNI awak kapal nelayan itu yang turut menjadi korban, atas nama Imam Buchaeri.

Sementara itu, Jubir Kepresidenan Filipina Lacierda mengklaim negaranya sudah memberi peringatan dan menekankan bahwa insiden terjadi di tengah wilayah perairan perikanan Filipina. Namun pemerintah Taiwan membantah hal tersebut.

"Pada kenyataannya, peristiwa tragis tersebut terjadi di wilayah perairan yang tumpang tindih antara Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara tersebut, bukan ZEE Filipina semata seperti yang diklaim pemerintah Filipina," kata pemerintah Taiwan.

UNCLOS dan Mahkamah Internasional Hukum Laut (ITLOS) memiliki tatanan hukum untuk wilayah ZEE tersebut. Pada salah satu bagian dari tatanan hukum tersebut negara pesisir tidak dapat mengeksekusi hukuman fisik, dan pembunuhan adalah tindakan yang paling ekstrem.

Pernyataan jubir Lacierda yang menyebut insiden itu sebagai `yang tidak diinginkan` juga menurut Taiwan tidak pantas, karena melihat personel kapal Filipina menggunakan senjata tembak otomatis untuk menembaki kapal penangkap ikan Taiwan yang tidak bersenjata.

Penyerangan itu, menurut Taiwan tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas. Apalagi sikap pasukan Filipina, yang setelah melakukan penembakkan, langsung meninggalkan tempat kejadian peristiwa.

"Ini sangat jelas melawan aturan hukum internasional dan prinsip kemanusiaan," kata pemerintah Taiwan.

Pemerintah Taiwan juga membantah mengenai tuduhan provokasi yang dilancarkan kapal nelayan milik rakyatnya sebelum penyerangan oleh Filipina.

"Penyelidikan kami tidak seperti itu, mengingat kapal Guang Ta Hsin Nomor 28 memiliki berat 15 ton dan kapal aparat Filipina 6 kali lebih besar dari ukurannya, sangat sulit dibayangkan bahwa tindakan yang demikian akan dilakukan kapal Taiwan itu," kata pemerintah Filipina.

Menteri Luar Negeri Taiwan, David Lin, pada Jumat (17/5), menyampaikan empat bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan Filipina.

Berupa permintaan maaf secara resmi, kompensasi untuk keluarga korban, segera melakukan penyelidikan terhadap pelaku penembakan, dan secepatnya menggelar negosiasi perjanjian kerja sama perikanan antara Taiwan dan Filipina, agar insiden serupa tidak terulang kembali.

(I029/T007)

Pewarta: Indra Pribadi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013