Inklusinya lebih tinggi dari literasi, tapi keduanya masih di bawah 50 persen
Bali (ANTARA) - Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adi Budiarso mengatakan ada tiga indikator yang dilihat dalam upaya pengembangan industri asuransi di Indonesia, yaitu literasi dan inklusi, pendalaman serta stabilitas.

“Terkait dengan literasi dan inklusi, dua-duanya kalau di industri asuransi menarik. Inklusinya lebih tinggi dari literasi, tapi keduanya masih di bawah 50 persen,” ujarnya di Nusa Dua, Bali, Jumat.

Pemerintah disebut hendak menyodorkan beberapa inisiatif untuk menciptakan inklusi berkualitas dengan literasi yang kuat dan meningkat. Dia mencontohkan negara maju seperti di Amerika Serikat (AS) dan Australia yang mewajibkan kepemilikan asuransi bagi warga yang hendak membawa mobil di kedua negara tersebut.

“Kalau orang sudah sadar asuransi kenapa dia tidak beli? Kalau sudah sadar perlu payung sebelum hujan, kenapa tidak pernah beli? Apakah harus ‘dipaksa’? Mungkin salah satunya di negara maju ada yang dipaksa. Misalnya anda mau bawa mobil di Amerika, di Australia, ya sudah harus punya asuransi terpatri label insurance. Di Indonesia belum ada itu,” ungkap Adi.

Dalam ungkapan lain, tingkat literasi yang tinggi dan inklusi keuangan yang baik dapat membantu masyarakat lebih memahami manfaat asuransi dan menggunakan produk-produk asuransi sesuai dengan kebutuhan mereka.

Mengenai indikator stabilitas yang mengacu pada kemampuan perusahaan-perusahaan asuransi untuk tetap beroperasi dengan baik dan memenuhi kewajiban finansial mereka dalam jangka panjang, pemerintah dinyatakan bakal memperkuat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berperan sebagai pelaksana Program Penjaminan Polis (PPP).

Indikator terakhir mengenai pendalaman yang merujuk pada perkembangan dan keragaman produk-produk asuransi. Adi menggambarkan bahwa aset asuransi dan dana pensiun dalam industri asuransi di Indonesia saat ini relatif rendah, yaitu di bawah 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika dibandingkan dengan Malaysia, angka di Negeri Jiran telah mencapai 60 persen dari PDB.

“Artinya, Indonesia masih punya peluang 3-4 kali lipat untuk pendalaman ke depan,” kata dia.

Selain itu, Adi mendorong masyarakat untuk mau belajar menjadi aktuaris karena Indonesia memerlukan banyak ahli di bidang profesi tersebut dalam rangka pengembangan industri asuransi.

“Jadi, kalau bisa kita bukan menunggu masa depan, tapi kita menjemput masa depan dengan literasi dan inklusi, pendalaman, dan stabilitasnya di sektor ini,” ungkap Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Kemenkeu.


Baca juga: AAUI: Industri asuransi alami transformasi berkat digitalisasi
Baca juga: OJK: Kita tak bisa tutup mata dari berbagai masalah sektor asuransi


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023