kami belum diminta oleh Pemerintah Libya untuk membantu, dan PBB belum mengusulkan campur tangan."
Paris (ANTARA News) - Presiden Prancis Francois Hollande pada Jumat (31/5) mengatakan Paris tak memiliki rencana untuk melancarkan operasi militer di Libya.

Di dalam satu wawancara dengan media Prancis, Presiden mengakui jaringan teror yang berpusat di Libya Selatan "sangat mungkin" berada di belakang serangan terhadap tambang uranium Prancis, Areva, dan satu kamp militer di Niger Utara pekan lalu, lapor Xinhua.

Awal Mei, para pejabat Niger mengatakan percaya para pelaku serangan berasal dari Libya Selatan.

"Kita harus melihat bagaimana kita bisa bekerjasama dengan Pemerintah Libya untuk menghapuskan pelaku teror ini," kata Hollande sebagaimana dikutip Xinhua. Ia merujuk kepada resiko yang meningkat dari tindakan kasar kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaida sebagai dasar bagi serangan mereka.

Namun, Presiden Prancis itu mengesampingkan campur tangan militer di negara Afrika Utara tersebut guna memburu gerilyawan sebab "kami belum diminta oleh Pemerintah Libya untuk membantu, dan PBB belum mengusulkan campur tangan", kata Hollande.

"Ada peraturan buat setiap campur tangan Prancis. Kami bertindak berdasarkan keabsahan yang diberikan resolusi PBB kepada kami," Hollande menekankan.

Pada Selasa (28/5), Menlu Laurent Fabius setelah melakukan pertemuan dengan Presiden Niger Mahamadou Issoufou di Niamey mendesak Libya dan negara tetangganya untuk bekerjasama menghadapi ancaman dari kelompok garis keras.

Desakan itu dinyatakan ketika ia mengunjungi Niger satu pekan setelah negara tersebut menghadapi serangan mematikan, yang diyakini dilakukan oleh gerilyawan dari Libya selatan.

Pada April Kedutaan Besar Prancis di Ibu Kota Libya, Tripoli, diserang oleh satu bom mobil, sehingga melukai dua pengawal berkebangsaan Prancis dan mengakibatkan kerusakan besar pada bangunan kedutaaan tersebut. Hollande mengatakan mereka yang berada di belakang serangan itu belum diketahui.

Prancis telah menjadi sasaran serangan setelah komitmen militernya terutama di Afghanistan dan di Mali. Sebanyak tujuh warganegara Prancis sekarang berada di tangan kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaida di Wilayah Sahel.

Pada Jumat (31/5), Libya membantah tuduhan bahwa pihaknya menggoyahkan tetangganya di sebelah selatan. Libya dituduh memiliki "pemerintah yang lemah, perbatasan yang rapuh dan senjata yang meningkat"

Perdana Menteri Libya Ali Zeidan membantah tuduhan itu dan mengatakan tuduhan itu "tak memiliki dasar". Ia menegaskan negaranya "tidak akan pernah menjadi sumber kecemasan atau mengacaukan tetangganya" di selatan, yang sudah lama mengalami ketidakstabilan.

Namun banyak diplomat Barat dan pengamat yakin bahwa Libya Selatan "menjadi satu daerah untuk menghimpun kekuatan kembali kelompok gerilyawan yang menyelamatkan diri dari Mali Utara" akibat serangan yang dipimpin Prancis pada Januari. (C003/A016)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013