Brussel (ANTARA) - Para menteri kependudukan Uni Eropa hari ini bertemu guna membahas peningkatan keamanan di blok kawasan itu setelah serangan mematikan menimpa Prancis dan Belgia, selain karena kekhawatiran perang Israel-Hamas yang akan memaksa pemindahan paksa penduduk.

Sejumlah pihak dalam blok beranggotakan 27 negara di Eropa itu menyerukan perbatasan diperketat dan memperbanyak repatriasi warga asing.

Mereka juga menyerukan adanya lagi kesepakatan dengan negara-negara Afrika guna mencegah pengungsi dan imigran masuk ke Eropa sejak seorang warga Tunisia yang tak berhasil mendapatkan suaka, Senin lalu membunuh dua orang di Brussels.

Pekan lalu seorang guru di Prancis utara terbunuh akibat sebuah serangan yang dikutuk Presiden Emmanuel Macron sebagai "terorisme kaum islamis".

Pembunuhan itu terjadi ketika sebagian besar Eropa kian mengkhawatirkan situasi keamanan akibat perang Israel-Hamas.

"Implikasi situasi di Timur Tengah terhadap keamanan dalam negeri kita saat ini adalah topik mendesak," kata seorang diplomat Uni Eropa yang terlibat dalam persiapan perundingan tingkat menteri tersebut.

"Keduanya erat kaitannya dengan situasi-situasi yang berkembang di Timur Tengah dan apa yang tengah kita lihat terjadi di dalam Uni Eropa."

Pertemuan ini bakal menjadi kesempatan pertama para menteri untuk bertukar pandangan secara langsung sejak serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sedikitnya 1.400 warga Israel yang kemudian membuat Israel membalas dengan membombardir Gaza.

Para menteri sepertinya tak akan membuat keputusan spesifik apa pun, namun akan membahas topik-topik termasuk perkembangan apa yang dapat menyebabkan warga Palestina mengungsi dalam jumlah besar, atau memicu aksi kekerasan di dalam Uni Eropa.

Kekhawatiran serupa di beberapa negara Uni Eropa mengenai kemungkinan terjadinya lonjakan imigrasi akibat berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan pada 2021, ternyata tidak terwujud.

Uni Eropa menjadi waspada sejak lebih dari satu juta orang yang sebagian besar pengungsi perang saudara Suriah, mencapai pantai-pantai mereka setelah melintasi Mediterania pada 2015.

Serangan di Brussel menyingkapkan kegagalan yang terus-menerus terjadi dalam sistem migrasi dan suaka Uni Eropa yang memang bermasalah, termasuk akibat kesenjangan keamanan dan kepulangan yang tidak efektif. Hanya sekitar seperlima orang yang permintaannya bersuaka di Eropa tak dipenuhi, benar-benar dipulangkan lagi oleh blok kawasan itu.

Para pendukung perombakan kebijakan migrasi Uni Eropa yang diperkirakan selesai tahun ini, menyatakan kebijakan ini akan memperbaiki situasi, termasuk dengan memfasilitasi repatriasi yang lebih cepat bagi warga asing bercatatan kriminal.

Ada juga desakan untuk mencapai lagi kesepakatan dengan negara-negara Afrika, termasuk Mesir dan Maroko, yang serupa dengan kesepakatan yang belum lama ini ditandatangani Un Eropa bersama Tunisia, dengan menawarkan bantuan sebagai imbalan untuk langkah Tunisia membatalkan keberangkatan imigran ke Eropa.

Kalangan yang mengkritik kebijakan migrasi dan suaka Uni Eropa meragukan efektivitas kebijakan itu dan menunjuk meningkatnya risiko terhadap hak asasi manusia padahal fokusnya adalah mencegah imigrasi yang tidak sah.

Blok kawasan berpenduduk 450 juta orang itu mencatat sekitar 250.000 kedatangan tidak teratur tahun ini, yang sebagian besar dibantu penyelundup.

Tahun lalu, Uni Eropa menerima jutaan pengungsi akibat perang Rusia- Ukraina. Namun Uni Eropa berusaha mengurangi imigrasi tidak teratur dari Timur Tengah dan Afrika.

Sumber: Reuters
Baca juga: EU perpanjang perlindungan bagi pengungsi Ukraina sampai Maret 2025
Baca juga: Italia: Berikan uang lebih banyak ke Afrika untuk kendalikan migrasi
Baca juga: Uni Eropa kritik masyarakat internasional karena lupakan Palestina

 

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2023