Jakarta (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) lagi-lagi melanda negeri ini khususnya di beberapa wilayah rentan di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Tercatat sejak akhir Agustus 2023, kejadian Karhutla terus meningkat dan berpotensi menimbulkan dampak buruk seperti pada kejadian Karhutla tahun 2015 dan 2019.

Kejadian Karhutla pada 2015 telah membakar lebih dari 2,6 juta hektare hutan dan lahan, sementara pada 2019 bahkan mencapai lebih dari 1,6 juta hektare dengan kerugian ekonomi yang tidak sedikit yaitu sekitar Rp221 triliun pada 2015 dan Rp73 triliun pada 2019.

Kerugian yang diderita bukan hanya dari aspek ekonomi tetapi juga menimbulkan persoalan sosial dan bencana kesehatan yang parah.

Sampai dengan pertengahan Oktober 2023, berdasarkan data dari BMKG jumlah titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi di 6 provinsi prioritas mencakup Sumsel, Jambi, Riau, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel memang mulai menurun dari sebelumnya 60.376 titik menjadi 31.883 titik.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sipongi) luasan areal terbakar sampai dengan saat ini telah menembus angka 624 ribu hektare yang tersebar di 37 provinsi.

Kebakaran hutan dan lahan ini diprediksi akan masih berlangsung jika hujan belum turun, dan fenomena El Nino akan berpotensi memperburuk situasi ini jika hujan belum turun hingga akhir Oktober 2023.

BMKG memprediksi awal musim hujan di Indonesia akan mundur sampai pada November 2023 sehingga antisipasi dan mitigasi sangat diperlukan sejak dini.

Pengendalian Karhutla

Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan pada umumnya adalah perilaku manusia dalam aktivitasnya yang berhubungan dengan penggunaan api.

Selain itu, faktor kondisi iklim ekstrem yang dipengaruhi El Nino saat musim kemarau dan kondisi biofisik lahan terdegradasi menjadi pendorong terjadinya Karhutla.

Pengendalian Karhutla mencakup tiga aspek utama yaitu Pencegahan, Pemadaman, dan Penanganan Pasca Karhutla.

Dari berbagai kasus Karhutla yang dialami selama ini, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah bahwa penanganan Karhutla (jika sudah menjadi kebakaran yang meluas dan tidak terkendali) sangat sulit dan berat.

Di samping medan yang sulit, penanganan atau pemadaman Karhutla juga mengalami persoalan ketersediaan peralatan yang memadai, mobilisasi dan ketersediaan personel, biaya operasional, dan lain-lain.

Walaupun Pemerintah Pusat menyediakan pendanaan yang bisa diakses oleh Pemerintah Daerah setelah ada penetapan status bencana, namun upaya pemadaman sangat sulit dilakukan khususnya di lahan gambut.

Api yang sudah meluas dan tidak terkendali umumnya akan padam setelah hujan mengguyur.

Pembiayaan yang dikeluarkan Pemerintah dalam menanggulangi Karhutla tidaklah sedikit. Selama kurun waktu 2015-2019 tidak kurang dari Rp5,2 triliun uang negara telah dialokasikan dan digunakan untuk penanganan Karhutla. Artinya, jika dirata-rata Pemerintah mengeluarkan lebih dari 1 triliun rupiah per tahun.

Pembiayaan penanggulangan Karhutla merupakan pengeluaran terbesar dibanding upaya-upaya pencegahan, karena penanggulangan atau pemadaman akan membutuhkan pembiayaan untuk penyewaan pesawat dan helikopter water bombing  serta biaya mobilisasi dan operasional pemadaman.

Sebagai contoh pembiayaan penanggulangan bencana Karhutla pada tahun 2019 mencapai 3,4 triliun rupiah.

Penganggaran Karhutla

Meninjau dan memperbaiki perencanaan dan penganggaran terkait Karhutla sudah sangat mendesak.

Mengedepankan pencegahan karhutla adalah satu dari 5 butir utama arahan Presiden dalam Rakorsus Karhutla pada tahun 2021.

Pencegahan Karhutla perlu dituangkan ke dalam langkah-langkah program dan kegiatan konkret di lapangan dan tidak terbatas hanya pada apel-apel siaga dan pertemuan koordinasi.

Langkah-langkah konkret pencegahan semestinya dijabarkan ke dalam program/kegiatan dan anggaran yang memadai sesuai kebutuhan.

Selain mempertahankan upaya-upaya penting dalam pencegahan Karhutla seperti pembentukan dan koordinasi Tim Terpadu (TNI, Kepolisian, KLHK, BNPB, Pemerintah Daerah, Swasta), Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk menyemai hujan.

Selain itu, perlu dilakukan perencanaan terpadu dalam pencegahan Karhutla untuk meningkatkan intensitas kegiatan dan pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan seperti patroli bersama masyarakat peduli api (MPA), penyuluhan di tingkat masyarakat desa, memperkuat sistem deteksi dini (early warning system), dan pembasahan lahan gambut.

Kemudian, juga membangun infrastruktur pembasahan lahan gambut, rekrutmen, pelatihan dan penyediaan insentif kepada anggota MPA, penyediaan peralatan penanganan Karhutla bagi MPA dan Instansi Pemerintah terkait.

Ada pula terkait kampanye dan penguatan sistem informasi, meningkatkan kemandirian MPA melalui pengembangan kegiatan ekonomi produktif, penyediaan biaya operasional yang memadai bagi tim terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten, dan lain-lainnya sesuai kebutuhan spesifik di masing-masing daerah.

Dukungan pembiayaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah juga perlu ditingkatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan pencegahan yang disalurkan baik melalui unit-unit pelaksana teknis Kementerian/Lembaga di daerah.

Di samping juga penyediaan dana kepada daerah melalui Dana Dekonsentrasi, dan Dana Perbantuan. Dana Siap Pakai (DSP) atau on call yang ada di Pemerintah Pusat yang baru dapat dipakai jika terjadi bencana seyogyanya dapat dialokasikan untuk mendukung program/kegiatan pencegahan.

Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten perlu mengalokasikan pendanaan untuk pencegahan Karhutla dengan jumlah yang lebih signifikan yang dituangkan ke dalam Rencana Kerja Instansi (OPD).

Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa PDTT dan Pemerintah Daerah perlu menerbitkan regulasi sebagai landasan yang mempermudah Pemerintah Desa mengalokasikan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk pencegahan Karhutla dan mempertanggungjawabkan penggunaannya secara jelas.

Tersedianya perencanaan terpadu dan anggaran yang memadai di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan desa untuk mendukung upaya-upaya pencegahan diharapkan dapat mengurangi risiko terjadi Karhutla yang meluas dan tidak terkendali.

Saat ini sejumlah daerah masih berjibaku dengan kebakaran hutan dan lahan, dengan prediksi akan mundurnya musim hujan sampai awal November 2023.

Karhutla di tahun ini diharapkan tidak sampai meluas menjadi bencana asap, hujan segera turun, dan persoalan di lapangan dapat diatasi dengan mitigasi dan antisipasi yang tepat langkah.


*) Hasbi Berliani bekerja di Kemitraan/Partnership Jakarta.

 

Copyright © ANTARA 2023