Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden berpotensi mengancam demokrasi di Indonesia.

Kepala Pusat Riset Politik BRIN Athiqah Nur Alami dalam keterangan di Jakarta, Jumat, menganggap proses putusan itu janggal, aneh, dan cacat hukum.

"Kami khawatir secara jangka panjang akan menjadi ancaman serius bagi demokrasi kita dengan kemungkinan potensi terjadinya politisasi hukum," ujarnya.

Athiqah menuturkan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi juga tidak bulat karena dari sembilan hakim ada tiga hakim setuju, dua hakim concurring opinion, dan empat hakim disenting opinion.

Dia juga menganggap putusan Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dan sarat muatan politis, serta memberi jalan pada kepentingan perorangan dan kelompok daripada kepentingan bangsa dan negara.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan kajian terkait keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut penting bagi masyarakat, khususnya para peneliti dan akademisi hukum dan politik ketatanegaraan.

Menurut dia, keputusan itu merupakan salah satu tragedi penting dalam proses berjalannya demokrasi di Indonesia.

Perludem sebagai salah satu pihak terkait dalam perkara pengujian syarat usia calon presiden dalam undang-undang pemilu tersebut.


Perludem menolak penurunan syarat usia calon presiden untuk diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Hal ini melihat bahwa sebenarnya rentang usia antara 35 - 40 tahun itu masih di area rentang yang sama.

"Usia bukan diskriminasi dalam syarat usia calon presiden yang telah dibuat undang-undang karena tidak ada unsur sara dalam syarat itu, juga karena merupakan kebijakan hukum dari pembuat undang-undang," kata Fadli.

Dia menerangkan fakta syarat usia merupakan kebijakan pembuat undang-undang yang telah ada di beberapa ketentuan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah maupun pemilihan jabatan-jabatan publik yang telah ada.

Misalnya, syarat kepala daerah jabatan gubernur 30 tahun, bupati/walikota 25 tahun dan DPR 21 tahun.

Fadli melihat beberapa catatan dalam perkara tersebut, antara lain kedudukan hukum pemohon yang tidak memenuhi legal standing dalam upaya permohonan. Hal lainnya adalah adanya konflik kepentingan antara Ketua Mahkamah Konstitusi yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan salah satu kepala daerah.

"Semestinya secara etik Ketua Mahkamah Konstitusi tidak ikut dalam persidangan perkara. Namun, dia justru menjadi hakim yang memutus perkara dengan mengabulkan melalui penambahan frasa, berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” ucapnya.

Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Amelya Gustina mengungkap bahwa sejarah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu anak kandung hasil reformasi.

Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi atau The Guardian of Constitution dan The Final Interpreter of Constitution karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satu institusi yang berwenang dalam menafsirkan konstitusi dan setiap keputusan adalah final dan mengikat.

Pasal 169 huruf q yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang diajukan judicial review dan menjadi kehebohan di masyarakat adalah adanya inkonsistensi keputusan Mahkamah Konstitusi.

Keputusan hakim-hakim sebelumnya yang menolak permohonan dengan menyatakan bahwa perkara tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka.

"Hal itu merupakan kewenangan dari kebijakan pembuat undang-undang yakni DPR dan Presiden," pungkas Amelya.

Baca juga: Anggota Komisi II: Putusan MK harus dikonsultasikan ke DPR dahulu
Baca juga: Pengamat nilai putusan MK soal usia capres/cawapres perlu dimitigasi
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II: Putusan MK berlaku bila UU Pemilu direvisi

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2023