... kontribusi belanja Pemerintah dari pemilu terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar 0,75 persen pada 2023 dan 1 persen pada 2024.
Jakarta (ANTARA) - Saat ini dunia tengah dibayangi berbagai risiko dan ketidakpastian. Mulai dari kebijakan suku bunga The Fed yang masih tinggi, pertumbuhan ekonomi China yang melemah, ancaman El-Nino, hingga konflik Palestina-Israel yang kembali memanas. Berbagai peristiwa ini mengakibatkan efek domino yang berujung pada risiko pelemahan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Indonesia jadi salah satu negara yang cukup terdampak meskipun secara makro, ekonomi Indonesia masih menunjukkan resiliensinya. Baru-baru ini yang cukup mengkhawatirkan yakni melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pada saat artikel ini ditulis, tercatat menyentuh Rp15.878 per dolar AS.

Namun pada saat bersamaan, Indonesia tengah bersiap memasuki masa pemilihan umum (pemilu), suatu periode pesta demokrasi di mana beragam partai politik (parpol) saling menyiapkan strategi jitu masing-masing untuk menang. Bahkan dua koalisi telah mendeklarasikan pasangan calon (paslon) masing-masing.

Dari sudut pandang ekonomi, kontestasi sengit antarpartai ini justru memberikan peluang tersendiri bagi ekonomi Indonesia di tengah gejolak risiko global sekarang.


Kampanye genjot konsumsi domestik

Seperti pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, periode pemilu selalu ditandai dengan meningkatnya konsumsi dalam negeri. Hal ini karena aktivitas belanja dari masing-masing parpol dan masyarakat yang digunakan untuk kepentingan kampanye.

Apalagi Pemilu 2024 diselenggarakan serentak meliputi pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota legislatif (pileg), DPD, serta pemilihan kepala daerah (pilkada). Cakupan yang lebih luas ini menandakan anggaran belanja pemilu yang digelontorkan lebih besar dan bakal lebih berdampak pada konsumsi domestik masyarakat.

Adapun data secara historis mencatatkan pada Pemilu 2004, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,03 persen, kemudian pada 2009 tercatat turun sebesar 4,3 persen, serta Pemilu 2014 sebesar 5,01 persen. Terlepas dari sumbangsih belanja politik masa pemilu, kondisi ekonomi global tetap berpengaruh secara masif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa Pemerintah telah menganggarkan dana Rp11,52 triliun pada 2023 dan Rp15,87 triliun pada 2024 untuk penyelenggaraan pemilu, utamanya dialokasikan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Realisasi anggaran pemilu sampai dengan 19 September tercatat telah mencapai Rp14 triliun atau 30 persen dari pagu anggaran sebesar Rp46,7 triliun.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurrohman mengatakan kontribusi belanja Pemerintah dari pemilu terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar 0,75 persen pada 2023 dan 1 persen pada 2024. Sementara dari sisi dampak pengeluaran caleg, ia memperkirakan akan terjadi peningkatan Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga (LNPRT) sebesar 4,72 persen pada 2023 dan 6,57 persen pada 2024.

Perhitungan ini menimbang asumsi pengeluaran rata-rata caleg DPR sebesar Rp 1 miliar per orang dan caleg DPRD berkisar Rp 200 juta. Sementara jumlah caleg diprediksi sebanyak 8.037 caleg yang memperebutkan 580 kursi DPR RI. Adapun DPRD provinsi tingkat I 2.372 kursi dan DPRD kabupaten/kota 17.510 kursi.

Oleh karena itu, ajang pemilu menjadi momentum yang mampu memberikan stimulus agar memastikan kinerja perekonomian Indonesia tetap berjalan positif. Dampak ini mulai dirasakan pada tiga kuartal sebelum hari pemungutan suara yang ditetapkan tanggal 14 Februari 2024.

Penyelenggaraan pemilu diprediksi akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5 persen. Pola semacam ini diharapkan akan terus berulang di setiap periode pemilu guna menggenjot konsumsi domestik di tengah harga komoditas global yang volatil.


Keraguan para investor

Selain konsumsi domestik, sektor investasi juga mampu jadi penopang pertumbuhan ekonomi. Namun yang perlu diwaspadai yakni arus investasi asing yang cenderung melambat selama periode pemilu berlangsung. Ini dipicu sikap investor yang cenderung menunggu atau wait and see. Bagaimanapun, kecenderungan para investor untuk menunggu merupakan hal yang wajar, mengingat mereka perlu dengan cermat melakukan kalkulasi akan arah kebijakan ekonomi dari masing-masing capres-cawapres.

Dalam konteks Pemilu 2024, KPU sepakat untuk mempersingkat masa pendaftaran capres-cawapres menjadi tanggal 19-25 Oktober 2023. Keputusan ini dinilai mempunyai dampak positif bagi para investor. Head of Research DBS Group Maynard Arif mengatakan lini masa pemilu yang lebih singkat membuat para investor lebih cepat mengetahui kepastian visi-misi serta gambaran arah kebijakan ekonomi dari masing-masing paslon.

Dengan adanya keputusan KPU untuk percepat pendaftaran capres dan cawapres, menurut dia, mungkin itu bagus dan akan lebih memberikan gambaran buat investor bagaimana calon-calon presiden untuk 2024. Juga, mungkin lebih cepat juga kepastiannya sehingga investor bisa mendapat gambaran juga kira-kira arah programnya nanti bagaimana.

Pun demikian, terlepas dari peluang ekonomi yang diberikan pemilu, ada aspek tak terduga lainnya yang perlu menjadi sorotan yakni keputusan Bank Indonesia (BI) yang baru-baru ini menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,00 persen.

Keputusan ini di luar prediksi para pengamat ekonomi yang sebelumnya menilai suku bunga BI akan tetap di level 5,75 persen. Namun dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Oktober 2023 lalu, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,25 basis poin (bps) ke level 6,00 persen. Keputusan ini diambil Gubernur BI Perry Warjiyo sebagai langkah mempertahankan nilai tukar rupiah yang semakin melemah.

Namun di sisi lain, kenaikan suku bunga BI berujung pada meningkatnya suku bunga kredit pada sektor usaha produktif. Pasalnya, tingginya suku bunga mengakibatkan terjadinya penyesuaian pada fasilitas pembiayaan kredit modal kerja dan kredit investasi. Para pelaku usaha berpotensi mengkompensasikan biaya suku bunga yang tinggi ke dalam harga jual produknya sehingga berimbas pada konsumen akhir.

Sisi positifnya, suku bunga tinggi memberikan peluang bagi investor untuk mendapatkan potensi imbal hasil (return) lebih tinggi dengan berinvestasi pada instrumen berisiko lebih rendah. Suku bunga BI yang tinggi juga dapat memicu masuknya aliran dana asing (capital inflow) ke Indonesia.

Berdasarkan data Bloomberg hingga 12 Juni 2023, jumlah aliran dana asing yang masuk ke pasar modal Indonesia mencapai Rp85,2 triliun yang terbagi dalam Rp65,5 triliun pada pasar obligasi dan Rp19,7 triliun pada pasar saham.

Masuknya investasi asing juga dapat berimbas pada penguatan nilai tukar rupiah. Hal ini berpotensi memberikan efek positif bagi pertumbuhan fundamental ekonomi Indonesia.

Bagaimanapun, Pemilu 2024 memberikan secercah harapan bagi ekonomi Indonesia di tengah tensi geopolitik di Timur Tengah yang kian memanas serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Jadi, Pemerintah perlu menyiapkan strategi moneter beserta insentifnya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia agar berada pada jalurnya, mencapai 5,3 persen pada 2023 dan 5,2 persen pada 2024.









 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023