Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa dampak perubahan iklim berpotensi menciptakan ketidakadilan iklim, terutama bagi negara-negara yang kurang berkembang dan berpendapatan rendah dibanding negara maju.

Dwikorita dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Minggu, menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara tanpa terkecuali, seperti fenomena El Nino dan La Nina yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi.

Baca juga: Kontribusi Ibu Pertiwi merawat Bumi

Menurut dia tidak jarang dalam satu negara bisa mengalami bencana banjir namun disaat bersamaan juga mengalami kekeringan. Akibatnya kondisi ini membuat banyak orang menjadi hidup menderita.

Dalam laporan World Meteorogical Organization (WMO), ditegaskan bahwa laju perubahan iklim di dunia mengganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara. Negara maju misalnya bisa mengalami 60 persen dari jumlah kejadian bencananya terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Baca juga: BMKG ingatkan dahsyatnya perubahan iklim di lokakarya internasional

Namun kondisi parah terpotret di negara berkembang yang terdampak 7 persen dari bencana global namun menyebabkan kerugian 5-30 persen dari PDB. Sementara negara kepulauan kecil 20 persen dari bencana global menyebabkan kerugian hingga 5 persen dari PDB dan di beberapa kasus bisa melebihi 100 persen.

“Kami melihat bahwa cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 kejadian bencana yang dilaporkan antara tahun 1970-2021,” ujarnya.

Baca juga: BRIN: Perubahan iklim sebabkan tumbuhan punah

Kondisi tersebut, menurut Dwikorita adalah masalah yang sangat serius dan menunjukkan ketidakadilan atau tidak adanya kapasitas yang sama di antar negara.

"Ketidakadilan iklim, dilihat dari di mana wilayah yang paling tidak berkembang akan menjadi wilayah yang paling menderita dari dampak perubahan iklim saat ini," ujar dia.

Baca juga: BRIN: Sorgum dan jagung jadi alternatif pangan hadapi perubahan iklim

Atas dasar itu, melalui lokakarya internasional bertajuk ‘International Workshop on Climate Variabillty and Climate Services’ pada 16-19 Oktober 2023 di Bali, Dwikorita mengatakan hal tersebut sebagai satu upaya bagaimana menutup kesenjangan ketidakadilan iklim.

Para peserta dapat memahami lebih jauh tentang variabilitas iklim, dampaknya, dan bagaimana memberdayakan badan meteorologi untuk memberikan layanan iklim yang lebih akurat, tepat waktu, dan bermakna.

Baca juga: BMKG: Indonesia harus prioritaskan pengembangan green building

“Hal ini tidak hanya mencakup mengenali tantangan tetapi juga mengidentifikasi potensi keuntungan dalam menghadapi variabilitas iklim dan memanfaatkan jasa layanan iklim dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan,” kata Dwikorita.

Dwikorita berharap lokakarya ini memberikan banyak manfaat terutama untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan wawasan mengenai topik-topik spesifik seperti ilmu dasar ENSO dan IOD, El Nino 2023, dan dampak kekeringan terhadap sektor dan layanan iklim sektoral.

Lokakarya dibagi menjadi empat sesi. Pada sesi pertama membahas tentang fenomena El Nino Southern Oscillation, sesi kedua mengenai dampaknya terhadap kekeringan, sesi ketiga membahas dampak kekeringan terhadap beberapa sektor strategis/penting, dan sesi keempat menyoroti beberapa layanan iklim untuk sektor-sektor tersebut, namun dari sudut pandang pengguna.

Baca juga: Pakar: Perubahan iklim hambat keberlanjutan pembangunan daerah
Baca juga: Pakar: Ketidakpastian iklim sebabkan risiko bencana

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2023