Jakarta (ANTARA) - Seiring pertambahan penduduk, pengembangan Provinsi DKI Jakarta melebar ke daerah-daerah penyangga di barat, timur, dan selatan yang didominasi kawasan permukiman dan industri. Kondisi tersebut diyakini menyumbang polusi udara di Ibu Kota Jakarta. 

Oleh karena itu, kolaborasi antardaerah penyangga Jakarta untuk mengurangi dampak polusi  menjadi keharusan.

Kerja sama antardaerah itu di antaranya berupa pengawasan kepatuhan industri terhadap standardisasi penanganan sisa pembakaran industri, uji emisi kendaraan bermotor, hingga penyediaan transportasi publik.

Diakui bahwa tak semua industri di sekitar Jakarta menjadi penyumbang polusi. Sebab, industri yang berada di dalam kawasan industri biasanya sudah lulus Analisis  Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), sedangkan yang di luar kawasan harus didata lebih jauh.

Begitu juga dengan transportasi publik, tidak seperti di selatan dan timur Jakarta yang memiliki layanan lengkap,  koridor barat hanya mempunyai fasilitas bus dan kereta komuter (commuterline).

Penyediaan transportasi publik di barat Jakarta sudah masuk ke dalam "radar" Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan Dewan Transportasi Jabodetabek Puncak-Cianjur. Dalam waktu tidak terlalu lama kawasan ini juga akan terkoneksi dengan jaringan transportasi pubik.

Sementara ini, kewajiban pengembang di barat Jakarta menyediakan bus antar jemput (shuttle) yang menghubungkan kawasan permukiman dengan transportasi publik massal, termasuk dengan Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) guna menekan penggunaan kendaraan pribadi.

Seluruh pengembang di Tangerang Raya seperti BSD City, Summarecon, Lippo Karawaci, dan Paramount menyediakan fasilitas bus antar jemput bagi penghuni yang terkoneksi langsung dengan bus publik dan commuterline.
 
Koridor barat Jakarta yang didominasi industri dari skala ringan hingga barat terutama mengarah ke Cengkareng berlanjut hingga Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang sampai ke Kota Cilegon.

Dewan Transportasi Jabodetabek Puncak Cianjur sudah meminta pengembang untuk menyampaikan masukan terkait studi penyediaan fasilitas transportasi publik di barat Jakarta terutama untuk kawasan skala kota.

Kawasan skala kota di barat Jakarta seperti Maja, Alam Sutera, BSD dan lain-lain, tentu harus mempunyai rencana pengembangan  transportasi publik  agar penghuni tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi ke Ibu Kota Jakarta.


 
Bus TransPakuan yang dikelola Pemkab Bogor. ANTARA/Dokumen Djoko Setiowarno



Tak sekadar tol

Saat ini seluruh kota penyangga Jakarta telah terhubung jaringan jalan tol, sehingga memudahkan mobilitas warga  untuk beraktivitas di Ibu Kota maupun sebaliknya.

Kendati begitu, kehadiran jalan tol yang seharusnya membuat akses warga semakin mudah, akhir-akhir ini kerap didera kemacetan terutama saat jam-jam sibuk pagi dan sore.

Hal ini menunjukkan fasilitas transportasi publik yang menghubungkan kota-kota satelit dengan Ibu Kota Jakarta belum dimanfaatkan secara maksimal oleh warga. Masih banyak warga yang memilih berpergian menggunakan kendaraan pribadi ketimbang bus.

Padahal seiring penambahan jaringan jalan tol, pemerintah juga terus menambah layanan bus baik reguler maupun pengumpan (feeder) TransJakarta. Kenyataannya seiring bertambahnya panjang jalan tol, volume kendaraan pribadi yang lewat  juga ikut bertambah.

Diduga warga memakai kendaraan pribadi karena belum tersedia angkutan pubik untuk membawa penghuni keluar-masuk permukiman. Hadirnya klaster-klaster perumahan seharusnya dibarengi dengan tersedianya transportasi publik memadai.

Sebut saja di dalam klaster perumahan jarak terjauh dari gerbang klaster berjarak lebih dari satu kilometer. Akhirnya penghuni harus keluar memakai kendaraan pribadi. Belum lagi kalau kantong parkir di stasiun transportasi publik kapasitasnya sudah tidak memadai. 

Dengan demikian, perlu merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman untuk mewajibkan pengembang menyediakan fasilitas akses transportasi umum.

Sebagai gambaran, di Jabodetabek komposisi angkutan umum hanya tersisa dua persen, sedangkan mobil 23 persen dan sepeda motor mencapai 75 persen. 

Di sini terlihat sudah tidak ada sinkronisasi antara membangun kawasan perumahan dan layanan transportasi.

Alhasil, setiap warga, apalagi kaum milenial yang akan memiliki rumah tinggal, selain harus menyisihkan dari gaji bulanan untuk mengangsur kepemilikan rumah juga disisihkan pula untuk mengangsur kepemilikan kendaraan bermotor. 

Lebih dari 95 persen kawasan perumahan di Bodetabek tidak memiliki akses layanan transportasi umum. Sekarang, setiap membangun kawasan permukiman selalu tidak wajib disertai layanan transportasi umum. 

Padahal, idealnya warga berjalan kaki tidak lebih dari 500 meter bisa menemukan halte bus, terminal bus, atau stasiun kereta.

Hal inilah yang menyebabkan Jakarta tidak pernah bisa melawan kemacetan lalu lintas. Meski sudah ratusan rute bus TransJakarta dan Jaklingko dibangun, namun tidak mampu mengatasi kemacetan dan polusi udara.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada aturan penggunaan hasil penerimaan pajak untuk kegiatan yang telah ditentukan. 

Dengan regulasi ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk memperhatikan peningkatan keberadaan angkutan umum di daerah

Mengacu peraturan ini, pada tingkat daerah dapat membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur rencana induk  (masterplan) terkait jaringan dan operasi angkutan umum, serta besaran subsidi yang akan dialokasikan untuk pengoperasian angkutan umum. 

Dengan demikian,  operasi angkutan umum yang nyaman dapat terjamin keberlangsungannya.

Kesiapan

Saat ini bermunculan di DKI Jakarta kota-kota mandiri yang dibangun pengembang dengan luas di atas 100 hektare.   Bahkan kehadiran kota-kota mandiri sudah meluas ke berbagai arah. Ibaratnya,  Jakarta sudah dikepung kota-kota mandiri. Ke arah barat, lokasi kota mandiri ini sudah sampai ke Curug, Kabupaten Tangerang.

Sesuai namanya, kota mandiri artinya segala kebutuhan tersedia di dalamnya selain permukiman. Di dalam kota mandiri wajib menyediakan kawasan komersial untuk memenuhi kebutuhan penghuni, hutan kota sebagai paru-paru, wadah komunitas untuk warga berinteraksi, fasilitas kesehatan, dan sudah barang tentu transportasi publik.
Kondisi jalan di kawasan komersial Kota Gading Serpong, Kabupaten Tangerang. ANTARA/HO-Paramount

Apalagi, jika melihat lokasi di Curug, Kabupaten Tangerang, ini sudah diapit beberapa jaringan jalan tol yakni Jakarta-Merak dan Balaraja-Serpong, sehingga menuntut ketersediaan transportasi publik yang memadai untuk mengendalikan lalu lintas agar tidak membebani Jakarta sebagai hub dari kota-kota ini.

Kelengkapan fasilitas komersial dan transportasi memiliki peran penting agar kota mandiri bisa berkembang. Selain penghuni sudah bertambah, sektor komersial sebagai pendongkrak ekonomi juga dapat bangkit apabila mobilitas barang dan orang juga ikut meningkat. Kondisi demikian tidak akan tercipta kalau akses menuju kota-kota mandiri itu dibiarkan macet.

Inisiatif sejumlah kota mandiri yang membangun akses langsung menghubungkan jalan tol melalui kerja sama dengan pengelola jalan tol patrut mendapat apresiasi. Namun demikian,  tetap butuh pengaturan terkait transportasi publik di dalam kawasan, termasuk  menyiapkan kendaraan antar jemput (shuttle) untuk memudahkan warga berpergian.

Dengan demikian, butuh manajemen transportasi publik yang baik agar seluruh kehadiran kota-kota yang tersebar di luar Jakarta ini bisa terkoneksi dan tidak membebani Jakarta yang tak lama lagi tidak menyandang sebagai Ibu Kota Negara.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023