Kita melakukan upaya pengelolaan lanskap antara lain praktek pembukaan lahan tanpa bakar, kalau pun dengan bakar itu ada teknisnya.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi menyatakan  penerapan tiga klaster utama dalam solusi permanen penanganan kebakaran hutan dan lahan telah berhasil menurunkan jumlah lahan yang terbakar dan sebaran titik panas (hotspot) di Indonesia.

"Alhamdulillah, kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang, sebetulnya saat ini dalam kondisi kering dan suhunya lebih tinggi dari 2019, tapi kalau kita lihat jumlah lahan yang terbakar dan kejadian atau sebaran hotspot itu lebih rendah dari pada 2019," kata Laksmi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Meski titik sebaran panasnya masih dalam proses perhitungan, ia meyakini bahwa jumlah sebaran di tahun 2023 ini jauh berkurang dari sebaran hotspot yang mencapai 5.106 titik pada periode 14-20 September 2019 berdasarkan data Sipongi KLHK.

Selain adanya Instruksi Presiden (Inpres) No.3/2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, penerapan tiga klaster utama dalam solusi permanen penanganan kebakaran hutan dan lahan juga disebut menjadi penyebab turunnya jumlah hutan yang terbakar dan titik panas.

Baca juga: KLHK: Karhutla Gunung Papandayan telah dilokalisir

Baca juga: KLHK ingin daerah bangun ketahanan iklim cegah karhutla berulang


"Solusi permanen penanganan karhutla yang pertama berupa upaya penanggulangan berdasarkan analisis cuaca. BMKG sudah menginformasikan bahwa kita akan mengalami kemarau kering jadi sebelum masa krisis sudah dilakukan upaya seperti teknologi modifikasi cuaca," kata dia.

Upaya kedua yaitu pengendalian operasional dalam sistem Satgas Patroli terpadu di tingkat wilayah yang diperkuat oleh masyarakat, TNI, Polri, BNPB maupun BPBD.

Kemudian, klaster ke tiga, yaitu pembinaan tata kelola lanskap, khususnya dalam ketaatan pelaku konsesi, praktik pertanian, dan penanganan lagan gambut.

"Kita melakukan upaya pengelolaan lanskap antara lain praktek pembukaan lahan tanpa bakar, kalau pun dengan bakar itu ada teknisnya. Jadi teknisnya membakar balik dan sebagainya agar api bisa terkendali sehingga kebakaran hutan tidak sebesar atau tidak meluas," ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang selama ini terjadi di Indonesia sangat berdampak terhadap produksi emisi gas rumah kaca.

Di waktu-waktu tertentu seperti pada tahun 2015 dan 2019 dengan jumlah sebaran karhutla tinggi sangat berkorelasi terhadap peningkatan produksi emisi gas rumah kaca yang juga naik signifikan.*

Baca juga: KLHK segel 39 lokasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Baca juga: Desa Mandiri Peduli Gambut punya kesadaran tinggi merestorasi gambut


Pewarta: Moch Mardiansyah Al Afghani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023