dengan adanya pajak, perusahaan tersebut menyesuaikan teknologinya, sehingga proses produksi yang digunakan bisa menjadi rendah emisi karbon
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan tarik ulur penerapan kebijakan pajak karbon menjadi topik yang menarik mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim.

“Sudah setahun lalu pajak karbon akan ditetapkan, akan tetapi sampai saat ini memang masih tarik-ulur, karena memang ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Barangkali juga masyarakat masih banyak yang belum paham,” kata Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Nawawi dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Awalnya pemerintah merencanakan implementasi pajak karbon pada April 2022, namun ditunda sampai Juli 2022 dan ditunda lagi sampai sekarang.

Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Deden Djoenudin menuturkan jika berkaca dari negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon, maka fungsi regulasi mampu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan akan mendatangkan manfaat ekonomi.

Selain mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, negara memperoleh pendanaan lingkungan hidup, sehingga ada alokasi dana untuk menunjang kegiatan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan.

Menurut Deden, kasus yang terjadi di Indonesia kemungkinan ada secara spesifik. Hal itu terkait dengan tantangan dan kesiapan infrastruktur untuk penerapan pajak karbon itu sendiri.

Terdapat tiga tujuan pajak karbon, yaitu instrumen untuk mengubah perilaku dari pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon, mendukung penurunan emisi, dan mendorong inovasi serta investasi.

Oleh karena itu, perusahaan ataupun pelaku ekonomi harus menyesuaikan teknologi yang diterapkan selama ini.

"Jika semula menghasilkan emisi yang tinggi, maka dengan adanya pajak, perusahaan tersebut menyesuaikan teknologinya, sehingga proses produksi yang digunakan bisa menjadi rendah emisi karbon," papar Deden.

Lebih lanjut dia menyampaikan ada tiga prinsip penerapan pajak karbon. Pertama, adil, yaitu menggunakan prinsip polluters-pay-principle yang melakukan pencemaran yang harus menanggung beban pajak karbon agar tidak dibebankan kepada pelaku ekonomi yang memang tidak melakukan emisi.

Kedua adalah terjangkau, yaitu memperhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas. Lalu, prinsip terakhir adalah bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat.

Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN Subarudi mengungkapkan saat pandemi COVID-19 terjadi perubahan kualitas udara, terutama di Jakarta.

Program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan serta adanya sistem bekerja work from home (WFH) mempengaruhi kualitas udara di beberapa kota. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti berkurangnya aktivitas kendaraan motor sebagai sumber pencemar atau emisi udara yang paling besar.

Sabarudi mengungkap bahwa langkah konkret penyelesaian polusi adalah mengubah perilaku manusia, salah satunya dengan mengurangi jumlah kendaraan bermotor.

Ada kebijakan ganjil-genap yang kemudian subsidi motor listrik dihapuskan, lalu hemat energi seperti mengurangi penggunaan AC dan listrik di rumah dan kantor, membeli produk daur ulang agar polusi berkurang, serta menggunakan produk yang berkelanjutan.

Deden menyarankan agar menerapkan pajak karbon untuk ekspor batu bara dan kendaraan bermotor, serta industri yang berpolusi udara.

“Bisa juga dengan kebijakan memberikan insentif bagi usaha yang menurunkan polusi udara di perkotaan dan pedesaan," pungkasnya.


Baca juga: BEI sebut bursa karbon dapat membuka potensi kredit karbon Indonesia
Baca juga: Kemenperin: Emisi karbon mobil listrik tinggi karena proses baterai

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023