Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah untuk dikembangkan menjadi energi transisi, salah satunya bisa untuk energi hidrogen.
Jakarta (ANTARA) - Revolusi industri menjadi harapan baru bagi benih yang belum tertuai. Semakin lama, perubahan yang dipicu modernisasi semakin terimplementasi. Bukan maksud tanpa tendensi, namun ada harga yang harus dibayar dari sebuah perubahan drastis.

Ancaman kerusakan lingkungan adalah hal nyata yang harus dibayar tunai oleh makhluk Bumi. Semakin kencang laju deru mesin revolusi industri, kian besar konsumsi energi penggerak.

Dari terkurasnya energi fosil sampai munculnya energi baru terbarukan dari tangan-tangan ahli nan terampil. Di era mobilitas serba-lugas, pijakan baru telah terukir dalam upaya menekan ancaman lingkungan dari emisi karbon hasil pembakaran pembangkit listrik untuk energi.

Layaknya dari berudu hingga katak, kini loncatan besar terjadi atas munculnya hidrogen hijau, sebuah turunan produk dari hasil panas Bumi.

Energi hidrogen hijau menjadi peran protagonis dalam masa transisi energi, yang membutuhkan jembatan mencapai klimaks atas konklusi energi bersih.

Berbeda hal dari bahan bakar fosil, energi hidrogen hanya menghasilkan air, listrik, dan panas jika dikonversikan ke listrik dan panas, serta tidak menghasilkan gas rumah kaca maupun debu halus. Selain itu, hidrogen juga bisa dihasilkan dari penguraian senyawa air (H2O) menjadi oksigen (O2) dan hidrogen gas (H2) dengan menggunakan arus listrik melalui air tersebut atau biasa dikenal dengan metode elektrolisis.

Maka dalam tahap ini energi hidrogen adalah cara alam menanggapi keseimbangan lingkungan, sebuah tawaran alam yang dapat menciptakan pasar baru, nilai baru bahkan untuk dunia industri.

Fokus persoalan ini menjadi perhatian forum global termasuk dari Pemerintah Indonesia, yang kemudian melahirkan tiga rekomendasi umum untuk transisi energi.

Pertama, mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon dari penggunaan energi. Kedua, memastikan transisi yang berkeadilan dan terjangkau. Ketiga, meningkatkan akses dan kemampuan konsumen untuk mengonsumsi energi bersih dan modern.

Tiga rekomendasi yang disusun ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya yang terkait dengan tujuan mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, hingga mendorong terciptanya kota dan permukiman yang berkelanjutan, bertindak cepat terhadap perubahan iklim dan dampaknya, melestarikan serta menguatkan kemitraan secara global untuk pembangunan berkelanjutan.

Sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang diamanatkan mengelola energi nasional, Pertamina serius dalam menggarap transisi energi, salah satunya energi hidrogen hijau. Energi hidrogen hijau termasuk dalam program korporasi itu dalam mempercepat transisi ke penggunaan energi berkelanjutan dengan mengurangi intensitas karbon dari penggunaan energi.

Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, sumber hidrogen melimpah ruah di Indonesia karena bisa dihasilkan dari panas Bumi, gas alam, minyak Bumi, batu bara dan air. “Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah untuk dikembangkan menjadi energi transisi, salah satunya bisa untuk energi hidrogen. Kekayaan alam ini sangat sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik untuk menyiasati energi transisi,” jelasnya.

 

Peluang Indonesia

Indonesia negara terbesar kedua dengan kapasitas terpasang panas Bumi di dunia yakni sebesar 2,13 GW, dengan total kapasitas listrik panas Bumi nasional sebesar 23,9 GW. Dari capaian tersebut, 88 persen dari kapasitas terpasang panas Bumi di Indonesia beroperasi di wilayah kerja Pertamina.

Meski memiliki efisiensi tinggi dalam menggapai transisi energi, perlu pengolahan khusus untuk memanfaatkan energi hidrogen hijau ini, dan Indonesia melimpah akan hal itu.

Proses pengolahan hidrogen menjadi energi hijau, Pertamina melakukan pemisahan kadar H20 dalam air menggunakan pemanfaatan tenaga surya lewat panel surya photovoltatic (PV) sebagai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang kemudian menghasilkan listrik untuk mengurai kadar H2O dalam air tersebut. Berdasarkan data dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi tenaga surya di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 4,8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp.

Dengan adanya PLTS yang baik, negeri ini bisa menghasilkan listrik untuk menciptakan hidrogen dengan produksi yang ramah lingkungan dan menjadikan hidrogen sebagai energi hijau. Hal ini tentu bisa berdampak pada penekanan emisi dan mencegah terjadinya perubahan iklim.

Jerman merupakan salah satu negara yang berhasil mengembangkan energi hidrogen. Bahkan energi hidrogen menjadi salah satu penopang perekonomian di negara tersebut. Berkat Jerman berhasil melakukan perluasan energi terbarukan di Jerman dan Eropa.

Langkah konkret Pertamina adalah pengembangan penelitian tentang energi hijau. Salah satunya, melalui Pertamina Power Indonesia (Pertamina NRE) bekerja sama dengan perusahaan internasional untuk studi mengeksplorasi proyek pengembangan hidrogen hijau dan amonia hijau tertentu dengan menggunakan energi baru terbarukan yang lokasi utamanya berada di Sumatera.

Kerja sama penelitian tersebut bertujuan untuk menjajaki kelaikan pengembangan fasilitas hidrogen hijau dengan kapasitas produksi minimal 40.000 ton per tahun yang didukung setidaknya 250-400 MW energi panas Bumi pada tahap awal. Fasilitas produksi hidrogen ini akan memiliki potensi untuk ditingkatkan hingga 80.000 dan 160.000 ton per tahun yang bergantung pada ketersediaan energi panas Bumi serta permintaan pasar.

Upaya tersebut adalah langkah besar dalam menuju net zero emission pada tahun 2060.

Jalur cincin api yang membentang di Nusantara merupakan jalur emas untuk muncul hidrogen dari turunan panas Bumi. Dukungan pemangku kepentingan dibutuhkan untuk meyakinkan proses transisi energi yang kini berjalan.










 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023