Jakarta (ANTARA News) - Setelah mengalami sakit untuk beberapa waktu, Dja`far Husein Assegaf wafat di Jakarta pada Rabu pagi jam 5.05 WIB dalam usia 81 tahun.

Ia seorang wartawan hingga akhir hayatnya dan dalam perjalanan karirnya ia juga dikenal sebagai dosen, konsultan, diplomat dan politisi.

Pernah menjadi wartawan Harian Abadi, Indonesia Raya, dan memimpin Suara Karya, kemudian ia menjabat salah satu pimpinan LKBN Antara, anggota DPR, Ketua Dewan Kehormatan PWI dan dubes di Vietnam.

Ia pun seorang akademisi lulusan FHPM UI, pernah sebagai ketua jurusan komunikasi massa dan pembantu dekan bidang kemahaiswaan dan alumni FIPK UI.

Ia juga turut mendirikan dan pernah menjabat sekjen Confederation of ASEAN Journalists Association dan aktif di Asia Media Research and Information Center, Singapore.

Pemakamannya di TMPN Kalibata menjelang Ashar kemarin disaksikan oleh selain keluarga besarnya, juga oleh rekan sejawat dan sejumlah bekas mahasiswanya. Tentulah banyak kenangan yang membekas di berbagai kalangan yang mengenal almarhum semasa hidupnya. Pergaulan beliau yang lintas bidang merupakan salah satu kelebihan dia.

Di sebuah milis, seorang dosen mengenangya: "Teladan terbaik bagiku ialah sikap beliau yang selalu akrab dan bersahabat".

Salah seorang pakar komunikasi pembangunan Asia, Prof Crispin Maslog dalam emailnya kepada saya tadi malam menyatakan rasa duka: "Dialah orang Indonesia pertama yang menjadi sahabat akrab saya. Padahal saya ingin sekali bertemu di konferensi AMIC di Yogya bulan depan", katanya. Semoga segala kenangan itu ikut menyertai amal baiknya ketika kini kembali ke haribaan Sang Pencipta".

Terakhir kali bertemu dengan Djafar Assegaff kurang lebih setahun yang lalu di halaman Sarinah Jl.Thamrin Jakarta.

Dia sedang bertelepon, dan dari jauh melambaikan tangan memanggil. Setelah bertegur sapa, saya lantas mengajaknya minum kopi di gedung sebelah Sarinah.

Dia memilih cappucino, sedangkan saya minum teh panas. Sebelum itu memang sudah agak lama kami tak bertemu. Saat kami ngobrol, seorang rekan dari humas Astra yang kebetulan juga sedang disitu, ikut bergabung. Rupanya mereka sama-sama akan menghadiri acara "business gathering" Metro TV di Jakarta Theater.

Saat itu dia kelihatan sehat dan masih tetap nyetir sendiri. Kami ngobrol kesana sini. Seperti biasa, bila berjumpa, almarhum selalu menanyakan "sekarang kamu jadi apa ?. Saya jawab bahwa saya masih tetap sebagai pengajar di FISIP UI.

Tak lupa ia bertanya tentang perkembangan jurusan komunikasi dan lain-lain. Memang sejak menjadi mahasiswanya tahun 1970, saya ingat bahwa beliau adalah orang yang selalu hangat dengan ide-ide.

Bila kami bertemu, selalu banyak gagasan dan cita-cita yang diungkapkannya, terutama di bidang kajian jurnalisme dan komunikasi. Dia ingin ada pusat-pusat think-thank yang berbobot terutama di bidang komunikasi.

Persahabatan saya dengan beliau agak khas. Karena sejak mahasiswa saya sudah bekerja di suratkabar, maka saya pun sering bertemu di berbagai acara pers: dia wartawan senior, saya juniornya.

Jadi di ruang kuliah dia dosen saya, tapi di lapangan kami bersahabat satu profesi. Selepas menjadi mahasiswa, kami jadi seperti berteman karena sama-sama aktif berkegiatan di bidang jurnalisme dan pers.


Menyebarkan komunikasi pembangunan


Suasana `demam` pembangunan di awal dekade 70-an telah dicatat sebagai masa dimana semua sumberdaya termasuk media pers- bersemangat untuk turut menyumbang dalam upaya mengubah nasib bangsa.

Ketika itulah di kalangan jurnalis,khususnya di Asia- bersepakat untuk mengembangkan jurnalisme pembangunan atau kadang disebut juga development reporting.

Bersama Mochtar Lubis (ketika itu Dirjen Press Foundation of Asia), dan Rosihan Anwar, dia aktif menumbuhkan semangat yang sama dikalangan pers Indonesia. Pada masa itulah di Jakarta berdiri kantor berita DEPTHnews Indonesia.

Assegaff, selepas mengikuti travel seminar AMIC di 11 negara Asia tentang komunikasi pembangunan, membawa ide-ide tersebut ke tanah air, khususnya ke jurusan komunikasi massa FIS UI.

Dialah pengajar pertama mata kuliah tersebut. Kami yang ketika itu menjadi mahasiswanya, menjadi terbuka terhadap gagasan 'baru' itu.

Pada era `80an, Komunikasi Pembangunan malah pernah menjadi salah satu program studi di lingkungan departemen ilmu komunikasi FISIP UI, namun kemudian ditiadakan.

Bahkan, ia sempat menyunting sebuah reader: Bunga Rampai Komunikasi Pembangunan (Jakarta: Mecon, 1972) yang saat itu sungguh menolong bagi mahasiswa, mengingat pada masa itu literatur komunikasi masih amat langka di tanah air. Disamping itu, masih ada sejumlah buku lagi tentang pers yang ditulisnya.


Menjembatani pers-akademik

Untuk membangun dan memajukan pers Indonesia, diperlukan suatu sinergi antar semua pihak, termasuk antara dunia pendidikan/akademik dengan pers itu sendiri.

Beliau, karena memang praktisi pers yang juga seorang tenaga akademik di FISIP (waktu itu masih FIPK, lalu FIS) UI telah memposisikan dirinya sebagai linker yang baik.

Dengan akses yang dimilikinya di kedua kutub itu, ia berhasil menjembatani hubungan antara kedua bidang itu. Dengan hubungan seperti itu, itu dunia pers (praktis) dan akademik (teori dan pendidikan) dapat bekerja sama erat dan saling menopang untuk mencapai kemajuan bersama.

Latar belakang beliau sebagai mahasiswa angkatan pertama jurusan publisistik FHPM-UI juga berperan besar. Ia -mungkin tinggal satu-satunya- dari sejumlah mahasiswa pertama yang kuliah di jurusan publisistik UI.

Mungkin tidak banyak lagi yang ingat, bahwa atas permintaan Presiden Soekarno yang benar-benar concern soal pendidikan para jurnalis kita, Presiden UI ketika itu membuka jurusan ini, dan karena belum punya fakultas sosial, maka "didomplengkan", ke fakultas hukum yang untuk itu diperluas namanya menjadi fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat.

Kuliah pertama jurusan ini pada bulan Desember 1959 diisi langsung oleh Bung Karno sendiri. Ia mengisahkan hal itu di depan mahasiswa, ketika saya memintanya memberikan kuliah perdana meresmikan dibukanya program studi Jurnalisme di Program S1 Komunikasi FISIP UI tahun 2006 yang lalu.


Pengusul nama koran kampus Salemba


Sifatnya yang suportif dan apresiatif kepada aktivitas kaum muda memang terasa. Ketika saya mengetuai Biro Penerangan Dewan Mahasiswa UI, beliaulah salah satu dari nara sumber yang selalu "ready", kalau kami butuhkan untuk kegiatan pelatihan jurnalisme.

Di kalangan pers mahasiswa, ia dikenal sebagai mentor, seorang abang yang dengan senang hati membimbing mereka. Begitu pun masa saya memimpin Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) cabang Jakarta, dengan ramah ia selalu bersedia mengisi acara pelatihan kami, membagikan pengetahuan dan pengalamannya di dunia kewartawanan.

Hingga kemudian tiba saat DMUI (periode Dipo Alam) akan menerbitkan koran kampus pada tahun 1974. Waktu itu, oleh rektor, Prof Mahar Mardjono, rencana yang semula merupakan program kerja DMUI ini ditingkatkan levelnya menjadi suratkabar kampus yang resmi.

Meski sibuk, dalam rapat-rapat persiapan menerbitkan koran ini, Assegaf selalu hadir dan aktif memberikan saran-sarannya. Pada saat menetapkan nama koran ini, banyak usul yang diajukan oleh peserta rapat.

Dari kalangan mahasiswa, ingin nama yang agak bernada perjuangan maklum, ketika itu suasananya masih era perjuangan- seperti Genderang Mahasiswa, Suara Perjuangan, dan sebagainya. Pendeknya nama-nama yang terasa lebih "berdentum" di telinga terutama- mahasiswa.

Di tengah perbincangan itu, ia angkat bicara. Ia mengusulkan agar nama koran ini menggunakan lokasi kampus UI yang tersohor dan bersejarah: Salemba.

Mendengar usul itu, pada mulanya hadirin agak tertanya-tanya. Agaknya nama itu dirasa kurang greget dan tidak mencerminkan suasana pada masa itu. Tapi pak Assegaf menjelaskan alasan dia mengusulkan nama itu: di dunia pers, kata dia, koran-koran terpandang umumnya memakai nama tempat lokasi media itu diterbitkan, seperti The New York Times, The Washington Post, Wall Street Journal dan sebagainya.

Alasan berikutnya, nama ini akan mengabadikan sejarah UI yang berkiprah dan berpusat di Salemba. Jadi, meskipun nantinya UI pindah, (waktu itu rencana UI pindah ke Depok memang sudah diwacanakan) orang masih akan mengenang kampus lama. Selain itu, kata beliau pula, nama koran hendaklah sesuatu yang mudah diucapkan dan singkat. Memang, menurut dia awalnya nanti nama itu akan terasa kurang "hot, tapi lama kelamaan akan dirasakan akrab oleh publik. Kelak kemudian terbukti bahwa ia benar mengenai hal itu: Salemba akrab didengar dan diucapkan khalayak.

Peserta rapat yang dipimpin langsung oleh rektor itu pun kemudian menyetujui usul beliau, maka jadilah nama koran kampus yang akan diterbitkan UI itu: Salemba.

Selanjutnya, setelah melalui masa-masa persiapan yang penuh semangat, pada bulan Januari 1975 edisi perdana Salemba dengan format tabloid meluncur hangat dari percetakan ke tengah masyarakat pembacanya. Setelah terbit sekian tahun, koran kampus ini tidak panjang usianya, barangkali memang sudah demikian jalan nasibnya.


*)Zulkarimein Nasution, pengajar jurnalisme di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UI, mantan wartawan.

Oleh Zulkarimein Nasution *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013