Tujuan utama program ini adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil.....
Bali (ANTARA) - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan program peremajaan sawit rakyat (PSR) merupakan inisiatif penting yang bertujuan meningkatkan produktivitas perkebunan milik petani kecil.
 
"Tujuan utama program ini adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani kecil, sambil memanfaatkan sekitar dua juta hektare lahan perkebunan yang potensial," kata Direktur Eksekutif BPDPKS Eddy Abdurrachman pada giat Indonesia Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC) ke-19 di Bali, Kamis.
 
Ia mengemukakan program ini telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dan dana sebesar Rp8,5 triliun telah didistribusikan kepada lebih dari 306.000 hektare lahan dan memberikan manfaat kepada lebih dari 134.000 petani kecil.

Baca juga: BPDPKS: Biomaterial sawit dapat tingkatkan sektor ekonomi kreatif
 
Ia mengatakan melalui program PSR ini lebih dari 200.000 hektare lahan sudah ditanami kembali, dan lebih dari 100.000 hektare dalam proses pembersihan lahan. Dana sebesar Rp30 juta per hektare telah membantu petani selama proses peremajaan kembali.
 
"Program ini tidak hanya mengatasi kesenjangan finansial, tapi juga mempermudah akses petani ke pasar," ujarnya.
 
Dia juga menyampaikan bahwa kerja sama dengan berbagai pemangku kebijakan, seperti kementerian, pemerintah daerah, koperasi, dan perusahaan swasta menjadi bagian penting dalam pelaksanaan program ini.
 
"Keberlanjutan program ini menjadi hal yang mendesak. Peserta program diimbau untuk memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada saat panen pertama kali," katanya.
 
Menurut dia, kewajiban pelaksanaan ISPO ini menekankan pertimbangan lingkungan dan etika sudah masuk pada produksi sawit.
Dia juga menjelaskan program PSR telah melewati beberapa fase yang berbeda, menyesuaikan dengan tuntutan pasar dan perubahan regulasi.

Baca juga: BPDPKS danai 329 riset untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan
 
Fase awal dimulai pada 2016, ditandai dengan penyaluran pertama di Provinsi Riau untuk 254 hektare. Kemudian pada 2017, program ini diluncurkan secara besar-besaran di Musi Banyuasin, Sumatera Utara. Fase kedua dimulai pada 2018 dengan memperkenalkan model baru yang dilaksanakan menindaklanjuti penetapan dari Presiden RI.
 
Pada  2019-2020 mencatat rekor tertinggi dalam jumlah area yang memenuhi syarat untuk dana penanaman kembali. Fase ketiga, pada  2021, berfokus pada reformasi regulasi. Pada 2022 membawa regulasi yang lebih baik untuk mengatasi masalah status lahan dan pemetaan, serta memperkenalkan skema kemitraan untuk memfasilitasi akses ke dana penanaman kembali.
 
"Meskipun program ini telah membawa dampak ekonomi yang positif, masih terdapat tantangan. Salah satu masalah utama adalah kesenjangan finansial antara distribusi dana penanaman kembali dan fase produksi, yang membuat petani kecil enggan berpartisipasi," ujarnya.
 
Sementara itu, kata dia, tantangan lainnya di antaranya perlunya revitalisasi infrastruktur, fluktuasi biaya pupuk dan pestisida, kelangkaan bibit legitim, kurangnya pengetahuan dalam praktik pertanian yang baik serta masalah waktu pengiriman dan komitmen juga menghambat kesuksesan program.
 
Menurut dia, beberapa strategi dan inovasi telah diperkenalkan untuk mengatasi tantangan ini dan mempercepat program. Langkah-langkah ini termasuk memperluas pasar terkait, meningkatkan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, mengintegrasikan program dengan inisiatif terkait lainnya, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat proses verifikasi.

Baca juga: BPDPKS dan Aspekpir mengembangkan UKMK berbasis sawit di Sulbar
 
Ia menekankan bahwa semua langkah tersebut bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses peremajaan sawit kembali.
 
"Pentingnya program PSR tidak boleh diabaikan. Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius," kata dia.
 

Pewarta: Nur Amalia Amir
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023