Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa, (18/7) akan bertemu dengan para dubes negara Arab di Jakarta untuk mencari masukan guna menentukan sikap RI terhadap Israel, di tengah kian membabibutanya serangan Israel ke Libanon, sehingga menghancurkan fasilitas penting di Beirut serta memaksa warga asing, termasuk WNI, keluar dari Libanon. "Besok Presiden akan memanggil para duta besar negara-negara Arab untuk membicarakan hal itu," kata Juru Bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal, di Jakarta, Senin, ketika menjawab ANTARA apakah akan ada pernyataan baru Presiden Yudhoyono tentang tindakan brutal Israel. Dino belum memberikan gambaran tentang hasil apa yang diharapkan dari pertemuan Yudhoyono dan para duta besar negara-negara Arab. Namun ia menekankan bahwa masalah serangan Israel akan dibahas oleh Presiden dan para diplomat Arab. Pertemuan akan berlangsung di tengah seruan berbagai pihak di Indonesia, yang meminta pemerintahan Yudhoyono-Jusuf Kalla agar bersikap lebih keras dan konkret dalam menghadapi agresi militer Israel. Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, misalnya, pada Minggu (16/7) mengatakan bahwa kutukan keras serta imbauan saja terhadap Israel tidak cukup untuk dapat memaksa negara tersebut menghentikan agresi militernya. Menurut Tifatul, langkah konkret yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah berupaya kerasa melobi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara Arab untuk mendesak Israel menghentikan aksi-aksi brutalnya itu. Presiden Yudhoyono sendiri di sela-sela kunjungannya ke Bireun, NAD, pada Jumat (14/7), telah mengeluarkan desakan kepada pemerintah Israel untuk segera menghentikan serangan dan aksi militernya guna menghindari makin banyaknya korban jiwa yang jatuh maupun kerugian material. "Indonesia secara resmi, ini seruan ulang, minta Israel menghentikan aksi militernya," kata Yudhoyono di Bireun. Presiden juga meminta PBB dan masyarakat internasional untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah konkret guna mencegah peningkatan konflik di kawasan Timur Tengah. "PBB dan masyarakat internasional harus bersama-sama mengambil langkah konkret untuk mencegah eskalasi konflik bersenjata," kata Presiden. Ketegangan di Timur Tengah tampaknya masih akan berlanjut. Pemimpin Hizbullah Hasan Nasrallah bersumpah akan terus menyerang jika Israel tidak menghentikan serangannya ke Libanon. Israel sendiri dalam lima hari terakhir terus menggempur wilayah Libanon selatan dan menggencarkan serangan setelah kelompok Hizbullah menyerang kota Haifa di utara Israel. Hingga hari Minggu, jumlah korban tewas di pihak Libanon telah mencapai 147 orang dan di pihak Israel 25 orang. Ibukota Libanon, Beirut, yang berpenduduk 1,5 juta jiwa telah mulai diwarnai dengan eksodus para warga asing, termasuk warga negara Indonesia yang tinggal di Libanon. Evakuasi WNI Sementara itu, Juru Bicara Deplu, Desra Percaya, ketika dihubungi ANTARA, di Jakarta, Senin pagi, mengatakan hingga Senin sudah 40 warga negara Indonesia yang dievakuasi dari Beirut. Keempat puluh WNI, mayoritas perempuan dan anak-anak, adalah kelompok pertama yang berangkat dari Beirut pada hari Minggu pukul 17.00 waktu setempat dan tiba di perbatasan Libanon-Suriah setelah menempuh perjalanan selama empat jam. "Seluruhnya dalam keadaan selamat," kata Desra. Kota yang akan dituju di Suriah untuk menjadi tempat penampungan yang aman adalah Aleppo. KBRI juga tengah mempersiapkan untuk mengevakuasi kelompok rombongan lainnya menuju Suriah. Di Libanon memang masih ada puluhan WNI yang belum mengungsi ke KBRI namun telah diminta untuk bersedia dievakuasi ke Suriah. "Tapi kami terus mencoba menjangkau mereka (WNI yang belum mengungsi ke KBRI, red)," kata Jubir. Desra mengungkapkan, hingga kini Deplu belum mengevakuasi para diplomatnya, yaitu Dubes untuk Libanon Abdullah Syarwani dan para staf Kedubes, untuk pergi meninggalkan Beirut. "Kami belum memutuskan untuk mengevakuasi para diplomat karena mereka perlu memastikan keselamatan WNI," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006