Brussel (ANTARA News) - Sekretaris Jendral NATO Anders Fogh Rasmussen mengatakan, Kamis, ia berharap perundingan perdamaian AS-Taliban bisa segera diluncurkan setelah rencana negosiasi di kantor kelompok garis keras itu di Qatar macet bahkan sebelum dimulai.

Sejumlah pejabat AS mengatakan, Selasa, utusan-utusan mereka akan bertemu dengan Taliban di Doha namun kemudian menarik diri setelah Presiden Afghanistan Hamid Karzai mengungkapkan amarah atas cara kantor itu dibuka, lapor AFP.

"Saya berharap perundingan semacam itu bisa segera dimulai," kata Rasmussen pada jumpa pers di Brussel bersama Perdana Menteri Bulgaria Plamen Oresharski.

"Saya rasa perundingan perdamaian bisa memperkuat hasil keamanan dan memberikan kontribusi lebih besar pada keamanan Afghanistan" menjelang berakhirnya misi tempur pasukan NATO pimpinan AS di Afghanistan tahun depan.

Rasmussen menambahkan, "saya tidak merasa kita berada dalam situasi berbahaya" namun "rekonsiliasi tidak pernah mudah di belahan dunia mana pun".

Taliban membuka kantornya di Doha pada Selasa, hari yang sama ketika para pejabat AS menyatakan berharap akan bertemu dengan perwakilan militan di sana.

Namun, Kabul marah atas kenyataan bahwa kantor itu memiliki tanda "Emirat Islam Afghanistan" dan Karzai pada Rabu membekukan perundingan penting dengan Washington mengenai keberadaan pasukan Barat di Afghanistan setelah 2014.

Pada April, Presiden Afghanistan Hamid Karzai mengatakan, pembukaan kantor Taliban di Doha bisa "memfasilitasi proses perdamaian".

Ia menyampaikan pernyataan itu dalam wawancara dengan Al-Jazeera setelah pembicaraan di Doha dengan para penguasa negara kaya minyak Teluk Qatar.

Karzai sebelumnya menentang pembentukan kantor Taliban di Qatar karena khawatir pemerintahnya akan dikecualikan dari perjanjian perdamaian yang melibatkan kelompok garis keras itu dan AS.

Upaya-upaya untuk memulai perundingan perdamaian antara Taliban dan pemerintah Afghanistan sejauh ini gagal. Kelompok gerilya itu menolak berunding dengan Presiden Hamid Karzai, yang mereka anggap sebagai boneka AS.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al Qaida Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Sekitar 130.000 personel Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO yang berasal dari puluhan negara dikirim ke Afghanistan untuk membantu pemerintah Kabul memerangi pemberontakan Taliban dan sekutunya.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.

Pada Oktober 2011, Taliban berjanji akan berperang sampai semua pasukan asing meninggalkan Afghanistan.

Presiden Afghanistan Hamid Karzai dan negara-negara Barat pendukungnya telah sepakat bahwa semua pasukan tempur asing akan kembali ke negara mereka pada akhir 2014, namun Barat berjanji memberikan dukungan yang berlanjut setelah masa itu dalam bentuk dana dan pelatihan bagi pasukan keamanan Afghanistan. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013