"Semakin lama kita menunggu, kondisi pasien akan semakin buruk. Banyak orang akan meninggal hanya karena mereka tidak memiliki akses terhadap pengobatan,"
London (ANTARA) - Tahreer Azzam, seorang perawat di Rumah Sakit Makassed di Yerusalem timur, telah merawat para pasien anak-anak Palestina yang sakit parah dari Gaza selama 16 tahun terakhir, tetapi sejak perang berlangsung, dia kesulitan menemukan mereka.

Biasanya, sekitar 100 pasien dari Gaza menerima perawatan setiap hari untuk kebutuhan kesehatan yang kompleks seperti pengobatan kanker langka dan operasi jantung terbuka, di rumah sakit seperti tempat Azzam bekerja, serta di Tepi Barat yang diduduki Israel, serta di negara-negara lain, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Azzam dan rekan-rekan dari perawat perempuan itu telah berusaha menghubungi pasien mereka sejak perang mulai berkecamuk, termasuk memeriksa media sosial Facebook untuk mengetahui apakah mereka masih hidup.

"Kami melihat unggahan yang mengumumkan bahwa salah satu pasien anak-anak kami tewas dalam serangan tersebut. Dia baru berada di fasilitas ini sepekan sebelumnya. Dia berusia enam tahun. Saya tidak bisa melupakan wajahnya," kata Azzam kepada Reuters dalam sebuah wawancara.

WHO mendorong agar kelompok yang paling rentan di antara orang-orang yang sakit kronis diizinkan keluar untuk mendapatkan perawatan.

Negara-negara lain telah menawarkan untuk menerima pasien, termasuk Mesir, Turki dan Uni Emirat Arab.

Sebelum perang, sekitar 20.000 pasien per tahun meminta izin dari Israel untuk meninggalkan Jalur Gaza untuk mendapatkan layanan kesehatan, banyak dari mereka memerlukan perjalanan berulang kali melintasi perbatasan. Hampir sepertiganya adalah anak-anak.

Israel menyetujui 63 persen dari permohonan keluar medis ini pada tahun 2022, menurut WHO. Fasilitas kesehatan di Gaza sendiri telah terbebani oleh blokade yang dipimpin Israel selama 16 tahun dan pertempuran berulang kali.

"Dalam sejumlah peperangan sebelumnya, penyeberangan akan ditutup selama satu atau dua hari, tapi kemudian pasien dapat kembali. Ini adalah pertama kalinya ada larangan menyeluruh terhadap pergerakan dan pasien Gaza tidak dapat melewatinya," kata Osama Qadoumi, pengawas utama di Rumah Sakit Makassed.

"Semakin lama kita menunggu, kondisi pasien akan semakin buruk. Banyak orang akan meninggal hanya karena mereka tidak memiliki akses terhadap pengobatan," lanjut Qadoumi.

Kekhawatiran tersebut bukan hanya pada kasus-kasus yang paling kompleks. Terdapat 350.000 pasien dengan kondisi kronis di Gaza, termasuk kanker dan diabetes, serta 50.000 wanita hamil, menurut data dari organisasi PBB.

Sebelumnya, mayoritas warga Gaza bisa mendapatkan perawatan medis, tetapi kini PBB mengatakan sistem kesehatan yang rapuh di wilayah tersebut hampir runtuh, terpukul oleh serangan udara, lonjakan jumlah pasien trauma, dan berkurangnya pasokan obat-obatan dan bahan bakar dengan cepat.

Sedikit bantuan telah diizinkan masuk, sementara sekitar 80 pasien telah diizinkan untuk keluar.

"Kami selalu berbicara tentang trauma dan memang benar, tetapi kita juga harus memikirkan mengenai 350.000 pasien (berkondisi kronis)," kata Dr Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk Gaza dan Tepi Barat, dalam konferensi pers bulan lalu.

Sejumlah hal perlu perhatian sangat mendesak. Sekitar 1.000 pasien di Gaza memerlukan dialisis ginjal agar tetap hidup, tetapi 80 persen mesin tersebut berada di rumah sakit setempat di bawah perintah evakuasi, kata WHO.

Saat ini, satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza tidak lagi berfungsi.

Militer Israel telah meminta warga sipil untuk mengevakuasi Gaza utara, tempat beberapa rumah sakit berada, saat militer negara Zionis itu melakukan kampanye serangan untuk membubarkan Hamas.

Tentara Israel menuding Hamas menyembunyikan pusat komandonya di bawah rumah sakit, tetapi Hamas membantah hal ini.

Saat pertempuran berkecamuk, sekitar 400 pasien dan rekan mereka yang meninggalkan Gaza untuk mendapatkan perawatan sebelum perang terdampar di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, kata WHO. Banyak dari mereka kesulitan untuk menghubungi kerabat mereka, karena terbatasnya layanan seluler dan listrik di Gaza.

"Saya belum bisa memberi tahu mereka bagaimana operasinya berlangsung," kata Um Taha al-Farrah, yang membawa cucunya yang berusia 6 tahun, Hala, ke Rumah Sakit Makassed pada 5 Oktober untuk operasi tulang belakang ketiganya.

Ibunda Hala tidak diberi izin untuk menemaninya ke rumah sakit.

Ketika ayah Hala menelepon, mereka berhasil berbicara selama satu atau dua menit sebelum sambungan terputus. Dia bertanya "Bagaimana Hala?" Saya jawab "Alhamdulillah," dan itu saja, kata Um Taha.

Hala merindukan orang tuanya, dan rumahnya. Dia mengangkat gambar yang dibuatnya yang menampilkan sebuah es krim, seekor kelinci dan seorang gadis kecil, dengan kalimat "Aku sayang ibu dan ayah" tertulis dalam gelembung ucapan di mulut berbagai sosok itu.

"Saya tidak tahu siapa yang tersisa dari keluarga saya. Saya yakin mereka tidak menceritakan semuanya kepada saya," kata Um Taha.

Sumber: Reuters

Baca juga: RI tawarkan evakuasi korban di Gaza untuk dirawat di RS TNI
Baca juga: Uni Emirat Arab bangun rumah sakit darurat di Gaza

Penerjemah: M Razi Rahman
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2023