Saya senantiasa yakin bahwa rakyat tidak perlu turun ke jalan untuk menuntut peningkatan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya itu kewajiban pemerintah
Jakarta (ANTARA News) - Ungkapan "fulitik" tercetus dari mulut monyong ketika melafalkan kata politik bernada nyinyir dengan meminjam logat Betawi. Ber-fulitik membuat perut kenyang, seperti Romeo yang cemas-cemas lemas karena lapar cinta bercampur kangen menanti kedatangan sang kekasih, Juliet.

Neymar, bintang anyar yang bersinar dari negeri asal Jogo Bonito kini ikut-ikutan ber-fulitik ketika merespons gejolak di negaranya itu, padahal ia sedang membela Selecao di ajang Piala Konfederasi 2013.

Neymar diteror doa sebelum makan di hampir seluruh keluarga di Brazil, apakah memang berpolitik membuat perut kenyang? Fulus membeli akal bulus, sementara uang membeli sekerat kentang, ini kredo pembebasan negeri asal Paus Fransiskus.

Mengikuti jejak Romeo, maka Neymar melancarkan serangan balik untuk mengaramkam Meksiko dengan skor 2-0. Romeo berusaha membumi dengan mengamini cintanya dengan mengirim setangkai bunga hanya kepada Juliet.

Neymar berjibaku bersama para pengunjuk rasa negerinya untuk memprotes elite pemerintahan setempat yang amburadul menjalankan mesin birokrasi.

Baik Romeo bersama Juliet dan Neymar sama-sama mengamini ungkapan Latin klasik "longa est vita si plena est" (hidup itu akan terasa panjang apabila dipenuhi dengan perbuatan bermakna).

Yang bermakna, di mata Romeo yakni menyambangi Juliet seraya membisikkan kata-kata bermuatan setia cinta. Yang bermakna, di mata Neymar, yakni mendukung para pengunjuk rasa di jalan-jalan di sejumlah kota Brazil.

Mereka galau atas kebrengsekan elite pemerintahan Brazil yang tidak becus mengelola urusan kesehatan, keamanan, transportasi, dan ketersediaan pangan, serta menutup mata bahkan membiarkan korupsi merajalela.

Romeo dan Juliet sama-sama membangun "parlemen hati" karena dua sejoli berpegang kepada pernyataan Latin "ubi amor, ibi fides" (di mana ada cinta, di situ ada kepercayaan).

Sementara Neymar bersama para pengunjuk rasa di Brazil membangun arus gelombang "parlemen jalanan" dengan berpatokan kepada pernyataan pujangga Cicero: Ubi bene, ibi patria (di mana aku merasa enak, di situlah tanah airku).

"Saya warganegara Brazil dan saya mencintai negara saya. Saya punya keluarga dan teman-teman di Brazil. Dengan alasan itu, saya ingin Brazil lebih aman, lebih sehat, dan lebih bijak," kata Neymar lewat media sosial Facebook.

"Satu cara saya mewakili dan membela Brazil yakni tampil sebaik mungkin di lapangan bola. Sekarang, saya masuk ke lapangan terinspirasi dengan tuntutan para pengunjuk rasa. Saya sedih setelah menyaksikan apa yang sedang terjadi di Brazil."

Kalau Romeo merasakan gelombang cinta manakala bersua dengan Juliet, maka Neymar menerima sinyal cinta para pengunjuk rasa yang bergelora bergerak di Brazil sejak sepekan lalu memprotes kenaikan ongkos angkutan umum.

Neymar bersekutu bersama pengunjuk rasa menuntut perlakuan selayak-layaknya pemerintah dalam pendanaan bidang kesehatan dan pendidikan masyarakat dibandingkan investasi dalam penyelenggaraan Piala Konfederasi 2013 dan Piala Dunia.

Lebih dari 15.000 orang berhimpun di Fortaleza, ketika Brazil meladeni Meksiko, sebuah slogan terbentang, "Bangkitlah Brazil, seorang guru lebih bernilai ketimbang Neymar!" Pemain depan berusia 21 tahun itu, yang bergabung dengan Barcelona di awal bulan ini dengan nilai kontrak senilai 75,3 juta dolar AS (57 juta euro), kontan terdiam.

Sesudah 250.000 orang memenuhi jalan-jalan di Brazil pada Senin, para pemain bintang David Luiz, Hulk, Dani Alves dan Fred mendukung parlemen jalanan itu, Neymar berkongsi bersama mereka.

Tujuannya tunggal: menyerang pemerintah! Alasannya? "Saya senantiasa yakin bahwa rakyat tidak perlu turun ke jalan untuk menuntut peningkatan kualitas layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya itu adalah kewajiban pemerintah," kata Neymar.

Kisruh di Brazil lantas dicontohkan dari kehidupan Neymar sendiri. "Orangtuaku bekerja keras membiayai adik-adik perempuanku dan aku dengan kualitas hidup minimal. Soalnya bukan semata-mata demonstrasi yang kini meluas di Brazil," katanya.

Kiprah Neymar di timnas Brazil bukan jauh api dari panggang. Ketika Brazil menang atas Jepang dengan skor 3-0, nyatanya Neymar membuka kebuntuan timnya dengan gol hasil tendangan voli melesat mengoyak jala gawang skuad Samurai Biru. Ia juga berkontribusi atas gol yang diciptakan oleh Jo ketika melawan Meksiko.

Penampilan bersungguh-sungguh berbuah gol dari Neymar itu menuai pujian dari pelatih Luis Felipe Scolari. "Neymar adalah pemain yang berperan besar bagi kami, di Brazil. Ia bakal menjadi pemain terbaik dunia, meski usianya masih 21 tahun," kata Felipao.

Brazil bergolak, dan Felipao mahfum bahwa Brazil hidup dari politik sepak bola sebagai sebuah permainan yang membebaskan formalitas, terbebas dari belitan hukum dan kungkungan peraturan. Hukum mematikan jiwa, permainan (sepak bola) menghidupkan jiwa.

Neymar sedang coba-coba menjadi murid filsuf Yunani, Plato. Konon Plato pernah menyatakan, kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa sudah hampir pasti menjadi acak-acakan.

Mudah saja mengukur efektivitas tidaknya omongan elite politik, yakni apakah isi pidatonya mengenyangkan perut para pendengar?

Revolusi bahasa bermuara dan berdampak kepada revolusi tindakan. Dan Neymar sudah membuktikan dengan menegaskan bahwa rakyat Brazil perlu roti, bukan pembangunan stadion yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Brazil Dilma Rousseff.

Brazil belakangan ini digoyang unjuk rasa. Pemerintah menginvestasikan 15 milyar dolar AS untuk mendukung penyelenggaraan Piala Konfederasi dan Piala Dunia 2014, sementara ketersediaan anggaran pendidikan dan kesehatan demikian minim.

Neymar tidak sendiri, David Luiz mengimbau kepada para pengunjuk rasa agar tidak bertindak brutal. "Saya mengimbau kepada para pengunjuk rasa agar tidak menggunakan jalan kekerasan."

Warganegara punya hak mengutarakan pendapatnya, karena nyatanya mereka hidup sengsara. Ini salah satu jalan mereka mengemukakan pendapatnya ketika merespons situasi negara yang kian memburuk belakangan ini," katanya.

Dani Alves juga mengatakan, "Ketertiban dan kemajuan tanpa menggunakan kekerasan bagi kondisi Brazil yang lebih baik di masa depan. Brazil penuh damai, masyarakatnya terdidik dan terpercaya." Sementara pemain lainnya, Hulk menegaskan bahwa para pengunjuk rasa memprotes penyelenggaraan Piala Dunia.

Pemerintah Brazil disebut-sebut kehilangan kendali atas aksi pengunjuk rasa di jalan-jalan, sementara perhelatan Piala Konfederasi terus berlangsung. Wakil Menteri Komunikasi Brazil menyatakan kekacauan mengancam keberlanjutan penyelenggaraan turnamen itu.

Kalau memang pemerintah Brazil kehilangan kendali atas situasi, maka wakil menteri komunikasi Brazil, Cesar Alvarez dalam briefingnya di Maracana menegaskan, "Kehilangan kendali, itu tidak mungkin terjadi. Saya sama sekali tidak mengatakan, kami telah kehilangan kendali atas situasi."

"Kami tetap menjaga seluruh lokasi fasilitas umum dan pribadi. Kami tidak ingin menyaksikan banyak bus dan kendaraan pribadi terbakar."

"Kami akan mendengar tuntutan masyarakat tetapi saya tidak yakin benar bahwa semuanya ini berkaitan dengan penyelenggaraan Piala Konfederasi," katanya.

Stadion Maracana, salah satu stadion terbesar di dunia, yang dibangun kembali bagi penyelenggaraan Piala Dununtengunjuk rasa menyayangkan sikap semena-mena pemerintah menaikkan ongkos bus dan tarif subway.

Mengapa para punggawa timnas Brazil bereaksi? Mereka beranggapan bahwa membangun stabilitas politik dengan memberi tontonan sepak bola sebagai hiburan bagi rakyat sama saja membangun istana di atas onggokan pasir. Ini yang mau diprotes oleh Neymar dan kawan-kawan.

Filsuf dan teolog pembebasan Gustavo Gutierrez melihat bahwa elite penguasa Amerika Latin, termasuk Brazil, kerapkali membangun sistem politik represif, menindas aspirasi kaum miskin.

Sistem politik ini memunculkan konflik antara elite penguasa (kaya) yang ingin mempertahankan status quo melawan mereka yang miskin yang memperjuangkan kebebasan.

Di mata elite penguasa, perdamaian hanyalah selingan untuk menyusun konflik. Nah, manfaat serentak mudaratnya, sepak bola telah menjadi hegemoni mereka yang berkuasa di Brazil. Mereka berprakarsa membangun stadion agar dunia menyaksikan kehebatan dan kehebohan Jogo Bonito.

Ada jejak-jejak garis pemikiran Gutierrez atas sikap Neymar dan kawan-kawan. Mereka bersepaham bahwa bersikap netral berarti mengabsahkan status quo ketidakadilan. Parlemen hati rakyat Brazil hanya dapat dibangun dari praktek pemihakan kepada mereka yang miskin.

Dan sepak bola di Brazil hidup dan berakar dalam di kalangan rakyat setempat. Kalau sepak bola disebut-sebut sebagai "agama" di Brazil, maka sepak bola telah mendarahdaging bagi hidup rakyat di sana. Mereka mengamini kredo bahwa hanya dengan sepak bola mereka mampu memperbaiki kondisi ekonomi keluarga masing-masing.

Sepak bola di Brazil tidak boleh mengukuhkan status quo kemiskinan. Sepak bola sebagai agama di mata rakyat Brazil merupakan kemungkinan fajar cerah di masa depan di balik awan kelabu penindasan.

Apakah politik membuat pecinta bola menjadi kenyang? Dari pengalaman di Brazil, salah satu jawabannya yakni waspadalah dengan elite yang suka berpidato sarat propaganda di atas podium dengan mengatasnamakan kedamaian dan keteraturan.

Tidak perlu ikut-ikutan njlimet berpolitik, silakan nikmati saja tontotan laga sepak bola yang telah menyediakan kedamaian dan keteraturan. Menang boleh bersorak, kalah silakan rapikan barisan, itulah kredo politik Neymar.
(A024)



Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013