Makassar (ANTARA News) - Bencana gelombang pasang air laut pasca-gempa bumi (tsunami) yang berpotensi terjadi pada beberapa wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) bakal bisa dipantau secara dini setelah teknologi tsunami early warning system direalisasikan pada 2008. "Program peringatan dini tersebut akan membantu masyarakat yang bermukim di sekitar bibir pantai untuk mengetahui datangnya tsunami dan menghindarinya," kata Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Jasa dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofiska (BMG) Wilayah IV Makassar, Hanafi Hamzah, di Makassar, Selasa. Selain proyek pengadaan sistem peringatan tsunami dini, ia mengemukakan, kini juga disiapkan pengadaan meteorological system yang berfungsi untuk memantau kondisi cuaca. Alat-alat tersebut akan memberikan sinyal atau peringatan dini kepada masyarakat secara otomatis mengenai perilaku alam, seperti ancaman terjadinya tsunami. Sistem peringatan dini berupa alarm/sirine yang ditempatkan di sekitar pantai akan memberitahukan kepada masyarakat untuk segera menghindari bibir pantai sesaat setelah terjadi gempa. Tsunami pada umumnya akan terjadi setelah peristiwa gempa dengan kekuatan di atas 6 pada Skala Sichter (SR). Kecepatan atau waktu terjadinya tsunam, dikatakannya, tergantung pada kekuatan gempa dan posisinya dari bibir pantai. "Bila gempa terjadi pada jarak 200 km dari bibir pantai dengan kekuatan lebih 6 SR, kemungkinan jeda waktu terjadinya tsunami sekitar lima menit setelah gempa," jelas Hanafi. Namun, ia mengemukakan, kapan gempa datang, belum ada teknologi yang dimiliki BMG yang dapat memprakirakannya secara akurat. Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar), katanya, merupakan wilayah yang rawan terjadi gempa bumi dan tsunami, bila terjadi pergerakan lempeng patahan Palu (Palu faulk dan lempeng patahan Saddang (Saddang faulk). Patahan Palu tersebut, menurut dia, terbentang mulai dari Selat Makassar memotong ke Palu lalu ke bagian tengah Pulau Sulawesi, bercabang ke arah Teluk Bone dan menyambung ke Laut Flores dan Wilayah Sulawesi Tenggara hingga ke Laut Banda. Ia pun menyatakan, meski kekuatan yang ditimbulkan akibat patahan Palu ini lebih kecil dari pergerakan lempeng Hindia-Australia, Pasifik dan Eurasia, namun gelombang tsunami diprediksi akan menghempas pesisir pantai Timur dan Selatan Sulsel seperti Kabupaten Luwu, Wajo, Bone, Sinjai, Selayar, Bantaeng, Bulukumba, Jeneponto dan Takalar, bila garis patahan Palu itu menimbulkan gempa di Teluk Bone. Demikian pula halnya dengan patahan Saddang yang juga berpotensi enimbulkan gempa dan tsunami di pesisir Sulsel dan Sulbar. Berdasarkan peta geofisika, garis patahan ini melewati Bulukumba, Teluk Bone hingga ke Laut Flores, ujarnya. Di daerah Sulbar, menurut dia, gelombang tsunami yang terjadi akibat gempa tektonik di dasar laut pernah melanda Tinambung, Kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju. Ia merinci, Gempa Tinambung terjadi pada 11 April 1967 jam 13 09 11.00 WITA, Epic: 3,3747 LS - 119,115 BT, kedalaman 33 Km magnitude 5,3 SR dan menimbulkan tsunami yang mengakibatkan 58 orang meninggal, 100 orang luka-luka, 13 orang hilang, terjadi tanah longsor dengan intensitas VII - VIII MMI. Selain itu, Gempa Majene pada 23 Februari 1969, jam 08 36 56,6 WITA Epic 3,118 LS - 118,8711 BT, kedalaman 13 Km. magnitude 6,9 SR menyebabkan 64 orang meninggal, 97 orang luka-luka dan 1287 tempat tinggal serta masjid mengalami kerusakan berat dan ringan. Dermaga pelabuhan pecah sepanjang 50 m, timbul tsunami dengan ketinggian gelombang empat meter di Palatoang dan 1,5 m di Parasanga dan Palili, intensitas VIII MMI. Gempa Ulaweng, Mamuju, terjadi pada 8 April 1993 Jam 20 49 28,7 WITA Epic : 4,4089 LS - 120,1239 BT kedalaman 31 Km, magnitude 5,3 SR menimbulkan tanah longsor dan kerusakan berat serta ringan pada bangunan. Intensitas VI - VII MMI, tambahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006