JAKARTA (ANTARA) - Yayasan Lentera Anak menggelar edukasi dan skrining Tuberkulosis (TBC) kepada para santri sebagai dukungan upaya percepatan eliminasi TBC di Indonesia khususnya pada wilayah dengan potensi tinggi.

"Pesantren adalah salah satu lokasi yang rentan tertular TBC karena memungkinkan orang berkumpul dan menginap bersama-sama selain pasar, lapas, dan pusat keramaian lainnya. Bagaimana kalau ada satu yang tertular ini akan tertular ke lainnya," kata Ketua Lentera Anak Lisda Sundari di acara edukasi dan skrining TBC di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta Selatan, Selasa.

Dia menjelaskan pada proses skrining TBC para santri diminta untuk mengisi formulir agar mengetahui apakah mereka mengalami gejala-gejala yang mengarah TBC. Kemudian dari 200 santri akan dipilih untuk diambil sampel dahak secara acak sebanyak 50 hingga 100 santri.

"Santri akan dipilih secara acak 50 sampai 100 orang untuk memeriksakan sampel dahak. Hal ini untuk mengetahui apakah ada indikasi TBC dari dahak tersebut," kata dia.

Baca juga: BRIN ingatkan pengendalian tuberkulosis harus jadi perhatian serius

Baca juga: BRIN rumuskan strategi penanganan tuberkulosis di Indonesia


Dia mengatakan Yayasan Lentera Anak Indonesia akan fokus memberikan edukasi dan skrining mengenai TBC di pesantren. Hal ini menjadi penting karena edukasi merupakan salah satu bentuk tindak pencegahan untuk memutus mata rantai penularan TBC.

Dengan mendidik anak-anak mengetahui TBC, kata dia, diharapkan dapat menciptakan pendidik sebaya yang nantinya bisa mengedukasi dan berbagi pengetahuan TBC ke teman-temannya sendiri.

"Kami akan mendidik anak-anak menjadi peer educator atau pendidik sebaya yang nanti bisa mengedukasi ke teman-temannya sendiri. Karena anak-anak sekarang, yakni generasi Z cenderung lebih suka saling mengedukasi antar teman sendiri," ujarnya.

Ditemui dalam acara yang sama, sejumlah siswa mengaku tidak mengetahui banyak soal TBC itu seperti apa.

Zacky Mubbarock yang berusia 17 tahun mengatakan bahwa dia hanya mengetahui bahwa TBC merupakan penyakit menular. Namun, dia tidak tahu lebih jauh TBC disebabkan karena apa, faktornya apa saja dan gejalanya apa saja.

"Untuk wawasan kita juga bahwa biar lebih tau TBC ini penyakit apa kemudian kita bisa tahu, kalau kita mengalami tanda-tanda atau gejalanya karena sudah ikut edukasi dan skrining ini," kata Zacky.

Sama halnya dengan Alexa Azzahra yang juga berusia 17 tahun juga tidak mengetahui soal TBC itu apa dan gejalanya seperti apa. Untuk, itu kata dia, dengan adanya edukasi dan skrining ke sekolah sangat membantu mengenal penyakit TBC lebih jauh.

"Mau tahu TBC ini apa, gejalanya apa aja soalnya tidak ada yang mengedukasi soal TBC selama ini. Dengan adanya edukasi dan skrining membantu banget saya untuk lebih paham lagi. Edukasi soal TBC buat saya lebih mau untuk menerapkan pola hidup bersih dan juga menjaga pola makan," kata Alexa.

Selain program edukasi dan skrining yang saat ini berfokus pada pesantren, Yayasan Lentera Anak berharap program ini dapat menjangkau lebih luas pada sekolah-sekolah lainnya sebagai upaya menekan kasus TBC di Indonesia.*

Baca juga: Kemenkes minta masyarakat aktif kampanyekan pencegahan TBC

Baca juga: Kemenkes gencarkan penemuan kasus TBC di Indonesia

Pewarta: Erlangga Bregas Prakoso
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023