Anak yang bahagia datang dari orang tua yang bahagia. Kalau orang tua bahagia, maka aura yang terpancar kepada anak juga bahagia, sehingga keluarga otomatis bahagia
Jakarta (ANTARA) - Psikolog bidang Perkembangan Anak Usia Dini Universitas Indonesia Yuni Widiastuti menyatakan bahwa orang tua yang bahagia dalam proses pengasuhan, maka akan menghasilkan anak yang bahagia pula.

Pernyataan tersebut disampaikan Yuni pada diskusi Kelas Orang tua Hebat (Kerabat) ke-11 yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tema "Pengasuhan Bahagia untuk Anak Bahagia" yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

"Anak yang bahagia datang dari orang tua yang bahagia. Kalau orang tua bahagia, maka aura yang terpancar kepada anak juga bahagia, sehingga keluarga otomatis bahagia," kata Yuni.

Pada diskusi Kerabat ke-11 tersebut, Yuni melontarkan pertanyaan kepada peserta, kapan orang tua merasa paling bahagia.

Dari 800 peserta yang hadir secara daring dan menjawab pertanyaan tersebut dalam sebuah survei, menunjukkan hasil bahwa hampir 80 persen orang tua merasa bahagia ketika anak bahagia, anak sehat, anak ceria, anak berhasil, atau saat keluarga berkumpul.

Karena itu, agar dapat menularkan kebahagiaan kepada sang anak, Yuni menekankan pentingnya orang tua memperhatikan kesehatan atau kesejahteraan (wellbeing) diri sendiri.

"Sesuatu yang paling berharga untuk diwariskan dari orang tua ke anak adalah kebahagiaan orang tua itu sendiri, jadi orang tua mesti memperhatikan wellbeing-nya sendiri," katanya.

Ia menjelaskan, wellbeing adalah sebuah kondisi dimana seorang individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

"Jadi, sudahkah kita punya sikap yang positif terhadap diri sendiri? Karena, ketika mau memastikan wellbeing anak optimal, maka kita - orang tua - dulu yang wellbeing-nya mesti terjaga," kata Yuni.

Ia juga menegaskan, apabila wellbeing yang dimiliki orang tua sudah optimal, maka ia tidak akan lagi membandingkan perkembangan anaknya dengan orang lain.

"Kalau anak orang lain ranking satu, anak kita mesti ranking satu juga, masihkah kita seperti itu? Apakah kita masih membandingkan anak kita dengan anak orang lain? Kalau masih seperti itu, berarti wellbeing kita belum optimal," katanya.

Ia melanjutkan, wellbeing yang optimal bisa terjadi apabila seseorang dapat membuat keputusan, mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya, dan menciptakan serta mengelola lingkungan dengan baik.

Kemudian, memiliki tujuan hidup, membuat hidup mereka lebih bermakna, berusaha mengeksplorasi dan terus mengembangkan dirinya.

"Dengan wellbeing yang optimal, seseorang memiliki kemungkinan untuk mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi, kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, serta memiliki ketangguhan atau daya lenting tinggi dalam menghadapi stres, juga terlibat dalam perilaku sosial yang bertanggung jawab," katanya.

Pada Kerabat seri ke-11 ini, turut hadir Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak dr Irma Ardiana yang melaporkan bahwa dari hasil tes kelas orang tua hebat seri pertama hingga ke-10, menunjukkan orang tua mengalami peningkatan pengetahuan tentang pengasuhan keluarga - rata-rata di atas 70 persen-.

"Melalui gerakan catatan dan pelaporan Bina Keluarga Balita, BKB, dalam Sistem Informasi Keluarga, Siga, yang selalu kita gaungkan setiap sesi kelas kerabat, kini sudah mencapai satu juta keluarga yang memiliki anak usia dini hadir dalam pertemuan BKB di posyandu," katanya.

Selain itu, dari satu juta anak usia 0-6 tahun yang hadir dalam pertemuan BKB tersebut, telah dipantau perkembangannya melalui kartu kembang anak.

Ia menuturkan, Kerabat seri ke-11 ini merupakan kelas terakhir sebelum para peserta nantinya akan diwisuda pada Bulan Desember 2023 bersamaan dengan kegiatan BKB untuk 1.000 hari pertama kehidupan.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2023