Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan Indonesia harus tetap waspada meski potensi ancaman terorisme di dalam negeri mengalami penurunan pada tahun lalu.

“Berdasarkan Global Terrorism Index 2022 potensi ancaman terorisme Indonesia berada di urutan ke 24 dari 162 negara, menurun dibanding 2020 yang berada di urutan 37," kata Koordinator Analis Media Kontra Propaganda Pusat Media Damai (PMD) BNPT Budi Hartawan dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan bahwa capaian baik tersebut tidak boleh membuat Indonesia berpuas diri, tetapi harus dijadikan motivasi untuk terus melangkah dan berupaya menekan bahkan menghapuskan kasus terorisme, utamanya di zona merah.

“Misal di NTB di daerah Bima itu adalah zona merah, jadi memang perlu menjadi perhatian bersama terutama di satuan pendidikan,” ucapnya.

Baca juga: Fatan minta peran dai dioptimalkan cegah terorisme dan radikalisme

Baca juga: Puluhan napi kasus terorisme dipindahkan ke Nusakambangan


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, kata dia, terorisme merupakan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban dengan motif Ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Menurutnya, tindakan terorisme berawal dari paham radikalisme atau suatu ideologi dan paham untuk melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan, menyuburkan sikap intoleran, anti pancasila, anti NKRI, penyebaran paham takfiri, dan menyebabkan disintegrasi bangsa.

“Penelitian yang kami lakukan pada 2020 potensi radikalisme ini cenderung lebih tinggi terjadi pada perempuan, karena mereka lebih kuat kemauannya dan keterpaparannya,” ujarnya.

Tren kasus belakangan yang terjadi, menurutnya, sering dilakukan oleh kaum perempuan. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Sibolga, Sumatera Utara, pada 2019, di mana terjadi kasus bom bunuh diri yang dilakukan seorang perempuan yang sedang mengandung, dan anaknya yang berusia lima tahun turut menjadi korban.

Dia mengatakan bahwa penyebaran paham dan propaganda terorisme terjadi lebih masif di dunia maya, untuk itu perlu berhati-hati dalam menerima dan menyebarluaskan informasi.

“Setelah munculnya Kelompok ISIS, pola penyebaran paham radikal terorisme dan rekrutmen anggota kelompok terorisme mengalami perubahan, dunia maya digunakan sebagai alat penyebaran paham dan rekrutmen anggota,” katanya.

Kelompok radikal, menurutnya, menjadikan hoaks atau berita bohong sebagai salah satu strategi untuk menghasut dan meradikalisasi pengguna di dunia maya, menggunakan strategi media framing dalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikal terorisme mendapatkan simpati dan dukungan.

“Media sosial, social messenger, website, blog, digunakan sebagai alat penyebaran informasi, kaderisasi, pelatihan, dan komunikasi antar anggota, dan penyebaran buku-buku elektronik sebagai media indoktrinasi,” kata Budi.*

Baca juga: BNPT: Perempuan berperan strategis cegah radikalisme

Baca juga: Kementan bina mantan napi terorisme terlibat dalam sektor pertanian


Pewarta: Cahya Sari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023