Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memandang bahwa pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di wilayah-wilayah terpencil harus menjadi prioritas bagi pemerintah daerah mengingat layanan tersebut sangat dibutuhkan anak korban kekerasan.

Anggota KPAI Dian Sasmita mengatakan hal itu perlu menjadi perhatian karena saat ini belum semua kabupaten/kota memiliki UPTD PPA, terutama wilayah-wilayah di Indonesia timur.

"Ini sangat-sangat, menurut kami, harus menjadikan prioritas serius pemerintah daerah dan kementerian/lembaga (K/L) terkait bagaimana mengupayakan kebijakan khusus supaya pemda bisa dengan lebih mudah mendirikan atau menyediakan layanan UPTD PPA," kata Dian dalam Rakornas KPAI yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

KPAI mencatat keberadaan 254 UPTD PPA di seluruh Indonesia atau baru separuh dari total kabupaten/kota menyediakan layanan tersebut.

"Dengan ketiadaan UPTD, ini berakibat besar kepada korban ketika hendak mengakses layanan pendampingan dan pemulihan ketika proses hukum. Bahkan, mau lapor ke manapun korban masih tidak tahu juga, apalagi ketika harus visum," ujar dia.

Baca juga: KemenPPPA imbau korban KDRT lapor ke UPTD PPA terdekat
Baca juga: One stop services UPTD PPA beri layanan terintegrasi korban kekerasan


Menurut Dian, akses korban terhadap layanan pendampingan dan pemulihan yang masih terbatas menjadi salah satu hambatan dalam penanganan kasus kekerasan pada anak.

Di dalam aturan tertulis, fungsi pendampingan dan pemulihan memang tetap dijalankan oleh bidang perlindungan anak apabila UPTD PPA belum tersedia di suatu daerah.

Namun, ketiadaan layanan tersebut membuat tidak ada tenaga profesional yang tersedia seperti konselor dan psikolog.

"Ini menambah lagi derita pada korban. Tidak ada juga bantuan hukum khusus untuk korban. Ini berlipat-lipat sekali kondisi para korban," ujar Dian.

Selain akses layanan pendampingan dan pemulihan, KPAI juga menyoroti hambatan penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) di tingkat kepolisian serta masih terjadinya kriminalisasi terhadap korban seperti ancaman dan intimidasi.

Hingga Oktober 2023, KPAI telah menerima sebanyak 352 pengaduan kasus TPKS. Menurut KPAI, jumlah tersebut mengacu pada kasus yang mengalami hambatan keadilan.

Kasus-kasus tersebut mendapatkan pengawasan dari para komisioner di KPAI agar bisa mendapatkan prioritas penyelesaian.

Baca juga: KPAI: Kasus kekerasan seksual anak harusnya ditangani dengan UU SPPA
Baca juga: Pemilu didorong kedepankan anti kekerasan dan diskriminasi perempuan

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2023