Mereka lebih memikirkan tentang kemapanan salah satunya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr. H. Marzoeki Mahdi (PKJN RSMM) Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ menemukan bahwa ekspektasi eksternal menjadi pemicu maraknya kasus kesehatan mental generasi muda.

“Ketika saya meneliti stressor (pemicu) psikososial di DKI Jakarta, mereka merasa bahwa prestasi mereka tidak sesuai dengan ekspektasi. Masalahnya ekspektasi siapa? Kebanyakan dikte eksternal,” kata dia pada kunjungannya ke kantor ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Nova menyebut bahwa ekspektasi eksternal atau tuntutan sosial tersebut membangun sebuah standar semu akan sebuah keberhasilan seseorang. Media sosial juga berperan besar dalam kasus tersebut.

Dikte eksternal yang tersebar di media sosial saat ini, jelas Nova, membuat generasi muda berjarak dengan dirinya sendiri, dan tanpa sadar lupa untuk memiliki mimpi yang benar-benar diinginkan.

“Ini adalah faktor pemicu yang paling tinggi, sangat tinggi, yang akhirnya berhubungan pada kekecewaan,” ujar Nova yang juga seorang Psikiater.

Baca juga: Kesehatan mental dan fenomena tragedi bunuh diri

Baca juga: Kasus bunuh diri, pengaruh berita "tak sehat" dan media sosial


Nova melakukan penelitian tersebut pada generasi Z di DKI Jakarta, yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012 (menurut laman Kementerian Keuangan RI).

Merujuk pada data American Psychological Association, gen Z merupakan kelompok masyarakat yang paling mau mengakui bahwa mereka memiliki masalah dengan kesehatan jiwa.

Nova menjelaskan, bahwa gen Z juga merupakan generasi paling rajin untuk mencari bantuan dan sangat peduli tentang kesehatan mental dan kehidupan secara keseluruhan, berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

“Mereka lebih memikirkan tentang kemapanan salah satunya,” imbuh Nova.

Meski gen Z dinyatakan lebih terbuka soal isu kesehatan mental dan lebih rajin untuk mencari pertolongan, angka kasus bunuh diri di kalangan gen Z justru meningkat drastis dalam empat tahun terakhir.

Di Jakarta, penelitian tahun 2019 terhadap 910 remaja usia 14 sampai 19 tahun menyatakan 13,8 persen berisiko bunuh diri di kemudian hari.

Sementara baru-baru ini di tahun 2023, Nova mengatakan angka risiko tersebut telah naik di atas 50 persen. Penelitian kedua ini dilakukan terhadap 612 mahasiswa di Jakarta.

“Ide untuk bunuh diri lebih banyak dialami pada perempuan, namun pada saat eksekusi atau benar-benar melakukan mayoritas jenis kelamin laki-laki,” jelas Nova.

Baca juga: Kementerian PPPA: Selama 2023 sudah ada 20 kasus bunuh diri anak

Baca juga: Kesehatan mental dan Indonesia Emas

Baca juga: Psikolog: Bunuh diri dipicu kondisi mental pelaku


Pewarta: Pamela Sakina
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023