Kampung Ayapo, Kabupaten Jayap (ANTARA) - Rabu sore, kala itu di Kampung Ayapo, Distrik Sentani, anak-anak asyik bermain di dekat Gereja Kristen Elim. Ditemani suara ombak yang berdebur di tepi Danau Sentani, ada suara lembut dari seorang perempuan yang sedang mengajar para bapak tentang arti penting keluarga di dalam gereja.

Adalah Yosina Deda (48), seorang guru yang juga tokoh masyarakat di Kampung Ayapo. Dedikasinya untuk membangun keluarga yang kuat, dilandasi pendidikan yang benar sejak dini, membuatnya memilih mendirikan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pertama di kampung tersebut.

Meski saat itu jam sekolah telah usai, perempuan yang akrab dipanggil Mama Yosi ini semangat mengajak para jurnalis yang datang dari Jakarta menuju sekolah PAUD yang didirikannya, untuk mendengar kisah dia mengajar anak-anak usia dini membaca dan menulis dengan nyanyian.

Dia berkisah, banyak orang tua pergi ke kebun, meninggalkan anak-anaknya. Jadi, anak-anak itu hanya bermain dari pagi sampai sore. Lalu, Mama Yosi mulai terjun, dengan mengajak anak-anak itu berkumpul sambil belajar. Awalnya hanya belajar bernyanyi, yang akhirnya mengenalkan angka dan huruf.
Yosina Deda sedang mengajarkan Legenda Danau Sentani kepada seorang siswa di PAUD Nuri, pada Rabu (30/8/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

PAUD Nuri Ayapo berdiri sejak tahun 2009. Awalnya, Yosi duduk bersama dengan pemangku adat dan mengutarakan maksudnya untuk membuat PAUD. Saat itu, pemangku adat atau raja yang berkuasa di Kampung Ayapo memberinya sebidang tanah gratis untuk mendirikan taman bermain dan PAUD.

PAUD yang didirikan Yosi memang tak besar, namun sangat terlihat jelas betapa PAUD tersebut menghidupkan suasana Kampung Ayapo yang warganya tinggal di tepian Danau Sentani.

Mulanya, ia sebagai seorang istri dari ketua rukun tetangga (RT) di Kampung Ayapo, meminta sang suami untuk membukakan jalan baginya menuju tetua adat, sambil terus mengajak masyarakat melakukan edukasi dan sosialisasi akan pentingnya pendidikan anak usia dini.

Dari situlah, masyarakat pelan-pelan mulai mengajukan diri secara sukarela untuk bergabung menjadi pengajar. Sebelum PAUD berdiri, mereka rajin mengajar dari rumah ke rumah.

Para guru mengajarkan apa yang ada di lingkungan terdekat. Mereka juga mengenalkan bagaimana mencintai Tuhan, dengan bahan-bahan ajar dari alam yang ada di sekitar.

Setelah konsisten mengajar dari rumah ke rumah, Mama Yosi mulai dikenal oleh para pemangku adat dan pejabat daerah.

Untuk mendirikan PAUD, awalnya belum ada dana atau bantuan dari pemerintah, melainkan lewat swadaya dari masyarakat. Setelah itu, baru ada bantuan dana respek, atau yang biasa dikenal sebagai Dana Desa.

Setelah duduk bersama dengan pemangku adat dan pejabat desa serta memetakan lokasi PAUD, Yosi kemudian ikut terlibat dalam menganggarkan dana untuk membangun sekolah tersebut.


Tantangan

Setelah PAUD berdiri, orang tua pun ramai mendaftarkan anak-anaknya. Yosi tidak menetapkan berapa biaya khusus yang diperlukan untuk mendaftar, melainkan hanya secara sukarela. Bahkan, ia menggratiskan biaya bagi orang tua yang kurang mampu.

Ada lebih dari 200 kepala keluarga (KK) yang tinggal Kampung Ayapo. Yosi mencatat, ada 43 pendaftar baru di tahun 2023, dengan jumlah total siswa, kini lebih dari 60 anak.
Anak-anak sedang menari untuk menyambut tamu di Kampung Ayapo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Rabu (30/8/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

Butuh banyak kesabaran untuk menghadapi tantangan selama mengajar, utamanya dari para orang tua yang tidak semua menyukai cara mengajar Yosi.

"Ada (orang tua) yang tidak suka dengan guru, tidak suka dengan cara ajar kita. Tapi, karena kita semua satu kampung, satu keluarga, akhirnya kita terobos. Kita tahu anak ini pintar, jadi kita tarik anak itu, ajar dia. Anak-anak itu kini sudah jadi tentara dan polisi di sana (Kota Jayapura)," ucapnya.

Meski sebagian orang tua masih bersikukuh untuk tidak menyekolahkan anaknya dan lebih memilih mengajak mereka bekerja, tetapi Mama Yosi tak kenal lelah. Anak-anak itu awalnya diajak ke rumah baca yang juga ia dirikan, dan ia pula yang meyakinkan kepada kedua orang tua mereka bahwa pendidikan akan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih baik.

Ia pula yang mengurus administrasi kependudukan anak-anak didiknya, mengingat masih ada sebagian masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan pembuatan akta atau KK, padahal kedua berkas tersebut sangat dibutuhkan apabila anak ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,

Siapa pun dia, Yosi bawa ke tempatnya rumah bacanya dengan gratis, bahkan akta kelahiran pun diurus di tempat itu. Dengan bantuan seperti, para orang tua tentu sangat senang.

Yosi bersama para pengajar di PAUD itu juga memikirkan dengan matang bagaimana masa depan sang anak setelah lulus dari PAUD, dengan memberikan sertifikat yang memuat nilai dari enam aspek kemampuan anak, yakni agama, seni, kemampuan kognitif, motorik kasar dan motorik halus.

Sebagian besar anak lulus di usia 6-7 tahun dan melanjutkan ke tingkat sekolah dasar (SD). Setelah lulus, Yosi pulalah yang berjuang mengetuk pintu-pintu SD agar anak-anak itu diterima tanpa tes membaca atau menghitung, karena menurutnya, anak-anak tersebut lulus dari sekolah non-formal, bukan sekolah formal pada umumnya yang sudah mengajarkan membaca atau menghitung.

Yosi menyampaikan kepada sekolah-sekolah itu untuk menerima mereka dengan pertimbangan sudah cukup umur dan tidak perlu dites yang macam-macam.
Anak-anak sedang bermain di Kampung Ayapo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Rabu (30/8/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

​​​​​​​Yosi juga mengaku masih menerima anak-anak usia SD yang datang kepadanya karena masih belum bisa membaca dan menulis.

Ada anak yang dia temui saat membeli pinang, tapi tidak paham cara menghitung uang. Dari situ Mama Yosi meanggil si anak yang kemudian diketahui belum bisa membaca. 
"Kau bukan tidak tahu, kau tahu, tapi kau takut dengan guru, kau tak berani sampaikan (bagian) mana yang tak paham ke guru, di situ mama menangis, anak juga menangis," ucap Yosi, menceritakan pengalaman harunya.

Dari kejadian-kejadian itulah ia menyimpulkan bahwa tidak ada anak Indonesia yang bodoh, hanya saja masih banyak guru-guru atau orang tua yang kurang memberikan peluang untuk anak-anak itu.

Tantangan lain yang dihadapi oleh Yosi, yakni era digital yang membuat anak-anak lebih senang bermain gawai daripada belajar dengan buku fisik. Namun, ia tak mempermasalahkan itu dan malah melihatnya sebagai peluang untuk menyeimbangkan antara teknologi dengan pembelajaran konvensional.

Bagi dia, guru zaman sekarang mesti lebih keras berjuang. Harus ada guru yang bisa mengolah cara pembelajaran agar anak tetap bisa mencintai buku fisik, walaupun di gawai ada cerita audio visual yang mungkin lebih menarik bagi anak-anak

Pilihannya, dia ajarkan anak dengan kedua metode itu, yakni kadang dengan buku, kadang juga dengan ponsel pintar, sehingga ada keseimbangan dengan upaya konvensional dengan menyauti perkembangan teknologi informasi saat ini. Dengan cara itu, anak-anak Indonesia diharapkan tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

Peningkatan kapasitas guru di daerah juga sangat penting baginya, karena masih banyak siswa yang saat ini memang sudah bisa membaca, tetapi belum bisa memahami isi atau maksud dari bahan bacaan.


Hidup lebih layak

Yosi mengajar bersama kelima orang guru lain yang membantunya di PAUD yang dikelolanya. Keenam orang ini hingga saat ini masih berstatus guru honorer dengan upah yang tak seberapa dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Ia mengaku menerima upah Rp500 ribu untuk 3 bulan.

Meski sudah 18 tahun mengajar, hingga kini ia belum juga diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Namun, hal itu tak pernah menghalanginya untuk terus berjuang. Sambil mengajar, Yosi juga berkebun, menjadi relawan di rumah baca, dan bekerja bersama lembaga-lembaga nirlaba yang juga membantunya agar PAUD Nuri tetap berdiri tegak dan menjadi pijakan bagi anak-anak untuk mendapatkan ilmu dan kembali berkontribusi untuk Papua.

Yosi mengaku pernah ke Jakarta bersama salah satu lembaga Kristen yang sering memberikan penguatan kepada guru-guru di pelosok. Pengalaman ke Jakarta semakin membuka hati dan pikirannya untuk mendidik anak-anak Papua agar tumbuh menjadi pembeda dan bisa kembali ke Papua untuk bersama-sama membangun Kampung Ayapo.

Saat ini, ia menaruh harapan besar pada salah satu anaknya yang bernama Marselina Putri Epa (Putri), yang kini juga menjadi aktivis baca untuk meningkatkan kemampuan literasi masyarakat di Papua.

Saat ini, Putri sedang menempuh pendidikan sarjana di dua tempat, yakni Universitas Cenderawasih dan International University of Papua, dengan beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua.

"Saya bilang kepada Putri, kau harus bisa jadi pengaruh. Ke depan, kamu berdiri, bunda di belakang. Bunda berlutut, berdoa untuk kamu, generasi-generasi mendatang, supaya untuk menyambut persaingan itu kau tidak tertinggal, kau juga bisa maju di depan untuk tolong mereka agar tumbuh ke depan juga," kata Yosi.
Salah seorang anak sedang menikmati pemandangan sore hari di salah satu dermaga Danau Sentani menuju Kampung Ayapo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Rabu (30/8/2023). (ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

Masih banyak sosok seperti Mama Yosi yang juga berjuang di pelosok-pelosok Nusantara untuk tetap menjaga nyala anak-anak yang haus akan pendidikan, karena sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pendidikan adalah hak segala bangsa, dan selayaknya bangsa yang merdeka, seorang guru mesti bisa mendapatkan hak-hak untuk hidup lebih sejahtera.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023