Mewujudkan kesetaraan itu masih panjang perjuangannya. Tantangan budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat.
Jakarta (ANTARA) - Jika kita melihat kondisi di kota-kota besar seperti Jakarta, laki-laki dan perempuan seakan-akan sudah berada dalam posisi yang setara. Baik perempuan maupun laki-laki bisa sama-sama menduduki berbagai jabatan tinggi di pemerintahan dan swasta.

Perempuan juga bisa menjalankan berbagai pekerjaan dan profesi yang dulu hanya dilakukan oleh laki-laki.

Namun, di balik situasi ideal tersebut, masih banyak perempuan yang tidak tersorot oleh publik, padahal mereka berada dalam kondisi marginal.

Tidak seperti perempuan yang hidup di perkotaan dan berasal dari kalangan menengah ke atas, para perempuan ini dihadapkan pada  berbagai permasalahan sosial.

Tercapainya keadilan sosial, kesetaraan, keadilan gender, serta perdamaian di ranah publik dan privat menjadi tujuan didirikannya Institut Kapal Perempuan sebagai upaya memperkuat gerakan perempuan untuk memperkuat daya pikir kritis dengan perspektif feminis dan pluralis.

Kapal Perempuan merupakan akronim dari Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan, yang didirikan pada 8 Maret 2000, sebagai bentuk keprihatinan pada situasi pasca- Reformasi.

Pasalnya, pasca-Reformasi masih menyisakan sekat-sekat konflik dan kekerasan akibat politik identitas berbasis suku, ras, agama, dan gender yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu juga terjadi pelanggaran hak-hak asasi perempuan termasuk seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan serta praktik diskriminasi terhadap kelompok marjinal dan minoritas.

Pemiskinan perempuan terus berlangsung, tingginya kekerasan terhadap perempuan, perkawinan anak, penundukan perempuan, tingginya perempuan yang buta huruf, sementara kepemimpinan perempuan di ranah formal maupun di komunitas masih sangat rendah.

Otonomi daerah yang diterapkan berhadapan dengan situasi tersebut sehingga perempuan tidak memiliki ruang dan posisi tawar.

Oleh karena itu, lima aktivis, yakni mendiang Yanti Muchtar, mendiang Veronica Indriani, Misiyah, Wahyu Susilo, dan seorang suster mendirikan organisasi tersebut untuk menjangkau kelompok yang selama ini tak terjangkau untuk ditumbuhkan pemikiran kritisnya melalui pendidikan alternatif.

Pendidikan ini membongkar cara pandang yang selama ini tertutup menjadi terbuka, yang semula kebenaran tunggal menjadi plural, yang semula patriarki dan menganggap perempuan lebih rendah menjadi pemikiran dan sikap yang setara.

Lembaga swadaya masyarakat tersebut memiliki visi menciptakan masyarakat sipil, khususnya gerakan perempuan yang kuat untuk mempercepat terciptanya masyarakat yang memiliki daya pikir kritis, solidaritas, berkeadilan gender, pluralis, transparan, dan anti kekerasan.

Pendidikan ini menjangkau aktivis perempuan terutama yang berasal dari wilayah sulit akses, juga perempuan miskin, perempuan di wilayah terpencil, perempuan dengan agama minoritas, perempuan bersuku minoritas, minoritas identitas lainnya.


Sekolah Perempuan

Sekolah Perempuan merupakan salah satu pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat itu di komunitas-komunitas dan di desa-desa.

Di Sekolah Perempuan, para kader mempelajari modul-modul pemberdayaan perempuan, diantaranya tentang pemetaan peta masalah perempuan, konsep gender, nilai-nilai inklusif, gender dan dampak sosial, budaya, politik, dan ekonomi, analisis penyebab ketidakadilan gender, strategi memperkecil ketidakadilan gender, strategi reproduksi, kepemimpinan perempuan, strategi membangun organisasi perempuan, dan berbagai isu-isu tematik.

Setiap 2 pekan, fasilitator menggelar pembelajaran secara tatap muka dengan para kader. Lokasi belajar ada yang dilakukan di balai desa, ada yang di pinggir sungai, atau bahkan di pinggir pantai.

Tujuannya supaya para kadernya mampu berpikir kritis, berdaya, dan bisa mengadvokasi kebijakan di desanya.

Sekolah Perempuan ini banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Pulau Morotai, Maluku Utara; Mamuju, Sulawesi Barat; Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan; Padang Pariaman dan Padang, Sumatera Barat; Serang, Banten; Bidara Cina dan Klender, Jakarta Timur; Bantaran Sungai Ciliwung, Rawajati, Jakarta Selatan; Gresik dan Lumajang, Jawa Timur; Lombok Utara dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat; Kupang, Nusa Tenggara Timur; dan Denpasar, Bali.

Selain Sekolah Perempuan, program lainnya yang ada di LSM itu adalah pelatihan berjenjang yang diperuntukkan bagi para aktivis perempuan.

Pelatihan berjenjang bertujuan untuk memperkuat kepemimpinan perempuan dengan perspektif feminisme dan pluralisme. Harapannya, usai mengikuti pelatihan ini, para aktivis dapat menjadi pemimpin di wilayah mereka dengan melakukan pengorganisasian perempuan dan mengadvokasi isu-isu perempuan dan keberagaman.

Tercatat pelatihan berjenjang yang dikembangkan oleh organisasi itu kini telah memiliki sedikitnya 500 alumni, yang semuanya perempuan.

Dari para alumnus tersebut, ada yang setia menjadi aktivis di gerakan perempuan, ada yang memilih berkecimpung di gerakan lingkungan dan hingga saat ini tetap berkarya di daerah terpencil di Papua, Morotai pulau perbatasan, Bone wilayah pesisir, Aceh, dan berbagai wilayah lainnya.


Wujudkan kesetaraan

Misiyah, salah seorang aktivis pendiri organisasi tersebut, mulai tertarik dengan isu gender sejak tahun 1991 setelah mengikuti sebuah pelatihan mengenai gender. Saat itu usianya masih 24 tahun.

Dari pelatihan itu, Misi, sapaan Misiyah, baru menyadari bahwa ada banyak ketidakadilan gender yang selama ini terjadi dalam hidupnya dan juga di kehidupan para perempuan lainnya.

Ketika itu, satu-satunya referensi mengenai gender adalah Buku "Pembagian Kerja Secara Seksual" karya Arief Budiman.

Kini telah 24 tahun Misi "menggerakkan layar" organisasi pemberdaya perempuan itu.
Misiyah selaku pendiri Institut Kapal Perempuan. ANTARA/ HO-Kapal Perempuan


Ada pasang surut, ada manis pahitnya selama perjalanan di samudera perjuangan mendidik perempuan dan kelompok marjinal.

Mewujudkan kesetaraan itu masih panjang perjuangannya. Tantangan budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat.

Belum dilaksanakannya kebijakan yang melindungi perempuan secara menyeluruh. Serta masih kurangnya penganggaran untuk isu-isu gender.

Juga problem penegak hukum yang belum banyak yang memiliki perspektif gender dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

Perjuangan Misi tidak mudah melawan budaya patriarki yang masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua.

Namun dia tidak gentar. Misi berani melawan ketidakadilan gender yang dirasakan perempuan lewat pendidikan alternatif KAPAL Perempuan.

Misiyah boleh disebut sebagai sosok Kartini modern.

Cita-citanya hanya ingin menjadi bagian dari orang-orang yang mau melakukan perubahan untuk masyarakat agar tidak ada satupun masyarakat yang ditinggalkan dalam pembangunan.

Perjuangan R.A. Kartini tidak pernah padam, ikhtiarnya masih diteruskan oleh Misiyah dan para penerus Kartini lainnya yang memiliki cita-cita Indonesia bebas dari kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, psikis, dan seksual.

Seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki atau perempuan memiliki kesempatan yang setara, tidak ada lagi kemiskinan perempuan, tidak ada lagi perkawinan anak, dan Indonesia yang memiliki sosok-sosok perempuan yang berpikir kritis, tidak menyerah pada nasib, mampu melakukan perubahan bagi dirinya sendiri, dan juga bagi orang lain.


Editor: Achmad Zaenal M

 

Copyright © ANTARA 2024