Jakarta (ANTARA) - Bumi telah berputar memasuki pengujung November dan awal Desember. Beberapa wilayah di Indonesia mulai turun hujan dengan intensitas kecil, sedang, dan tinggi.

Petrikor, aroma khas tanah kering yang terpercik air hujan, menjadi pertanda kemarau akibat el nino telah berakhir di sebagian tempat.

Permukaan tanah yang semula kering, keras, dan retak, kini mulai kembali menjadi lembap, lembut, dan mengembang. Berkat air, tanah hidup kembali menumbuhkan tunas tanaman yang semula dorman. Di beberapa tempat hadirnya air di musim hujan menandai pulihnya ekonomi masyarakat.

Tanah dan air memang ibarat dua sejoli yang tak dapat dipisahkan. Keduanya saling menghidupkan. Itulah sebabnya berbagai tradisi besar di dunia begitu memuliakan tanah dan air.

Di Bumi Nusantara, para pendeta Hindu dan Budha di masa silam mencari tanah untuk lokasi membuat candi dengan mencari sumber air alias tirta terlebih dahulu.

Candi hanya didirikan pada tanah di dekat sumber air, seperti mata air, sungai, danau, dan laut. Dari candi tumbuh masyarakat, desa, hingga peradaban yang menggerakkan ekonomi.

Lokasi sumber air, bahkan dimuliakan menjadi petirtaan suci. Petirtaan dijaga karena berperan penting sebagai urat nadi bagi masyakarat.

Demikian pula di tradisi besar lain di Timur Tengah. Peradaban Kota Mekkah di Arab Saudi lahir dari sebuah mata air yang disebut mata air Zam-Zam.

Dulu tanah di sana kering kerontang yang membuat ibu dan anak bernama Hajar dan Ismail hampir putus asa untuk hidup. Berkat hadirnya air, wajah tanah Mekkah berubah total secara perlahan-lahan.

Dari mata air berkembang menjadi oase tempat persinggahan para kafilah. Sebagian hanya singgah, sebagian lagi menetap sementara, lalu membentuk kota. Pada akhirnya menjadi salah satu pusat peradaban terkenal saat ini.

Di kalangan ilmuwan tentang tanah, air sejatinya menjadi bagian dari tanah yang tak dapat dipisahkan. Volume tanah yang sehat terdiri dari 50 persen partikel padatan berupa bahan mineral dan bahan organik, serta 50 persen lagi berupa ruang pori yang dapat diisi secara seimbang oleh air dan udara.

Dengan kata lain, tanpa air, tanah menjadi seonggok material planet Bumi yang tak mampu menumbuhkan kehidupan. Sebaliknya, tanpa tanah, air tidak dapat menemukan ruang (space) dan tempat (place) untuk menumbuhkan kehidupan.

Air hanya akan menjadi badan air, seperti danau atau lautan yang tidak dapat dihuni manusia secara permanen.


Hari Tanah Sedunia

Peran penting tanah dan air itu yang membuat "Food and Agriculture Organization" (FAO) mengangkat tanah dan air sebagai tema utama pada peringatan hari tanah dunia atau World Soil Day 2023 yang jatuh pada 5 Desember 2023.

FAO memilih tema "Soil and water a source of life" untuk menegaskan bahwa tanah dan air adalah sumber kehidupan di planet Bumi.

Tanpa menjaga sumber daya tanah dan sumber daya air di muka Bumi, maka umat manusia sedang berjalan menuju kemiskinan ekonomi, kelaparan, gizi buruk, dan pada ujungnya kepunahan umat manusia.

Pada konteks Indonesia, tema tersebut dikontekstualkan dengan kondisi Indonesia oleh Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI).

Tanah dan air menjadi elemen kunci pada upaya memenuhi kebutuhan makan 278 juta penduduk Indonesia yang saat ini mendapat berbagai tekanan, seperti perubahan iklim, produktivitas lahan yang melandai, belum pulihnya ekonomi akibat COVID-19, serta terhambatnya distribusi pupuk dan pangan akibat perang di negara produsen.

Dengan demikian tema hari tanah dipertajam pada "Pengelolaan Lahan untuk Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan: Pasca COVID-19 dan Ketegangan Geopolitik Internasional".

​Tentu upaya menjaga tanah dan air bukan persoalan mudah, tetapi juga bukan persoalan yang tidak mungkin.

Setiap anak bangsa dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk menjaga sumber daya ini untuk generasi mendatang. Konservasi tanah dan air berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Pengelolaan bahan organik asal sisa biomassa pertanian, biomassa gulma, dan kotoran ternak yang dikembalikan ke dalam tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah memegang air, sehingga lebih tahan ketika terjadi kemarau panjang.

Sampah pertanian, gulma, dan kotoran hewan jangan lagi dipandang sebagai limbah, tetapi aset sebagai bahan pembenah tanah agar kemampuan tanah memegang air lebih baik.

Di dunia, sistem pertanian tadah hujan menguasai 80 persen lahan pertanian dan menyumbang 60 persen produksi pangan global. Sistem ini sangat bergantung pada praktik pengelolaan kelembaban tanah yang efektif oleh bahan organik dan penutupan tanah alami.

Di sisi lain, sistem pertanian beririgasi menyerap 70 persen air tawar dunia dan mencakup 20 persen lahan pertanian, sehingga penggunaan air berkualitas harus efisien.

Pada konteks Indonesia, metode irigasi yang tepat di setiap bentang lahan dan tipe iklim yang berbeda sangat penting dilakukan. Sudah saatnya sistem irigasi dengan saluran terbuka digeser menjadi sistem saluran tertutup dengan pipanisasi.

Distribusi air untuk pertanian sama pentingnya dengan distribusi air untuk manusia, seperti yang telah dilakukan dengan perusahaan daerah air minum (PDAM). Pengelolaan tanah dan air yang berkelanjutan adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas lahan untuk pertanian.

​Terakhir, konservasi tanah dan air juga berkontribusi besar untuk adaptasi dan mitigasi iklim. Tanah yang sehat berperan sebagai penyerap karbon, sehingga mengurangi emisi karbon ke udara yang menyebabkan pemanasan global.

Hanya dengan merawat, menghormati, dan memuliakan tanah dan air, maka sebuah bangsa dapat maju secara ekonomi dan mempertahankan peradabannya.


*) Dr. Ir. Ladiyani Retno Widowati, M.Sc. (Kepala BSIP Tanah dan Pupuk) dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc (peneliti di Pusat Riset Tanaman dan Pangan, BRIN)


 

Copyright © ANTARA 2023