Kesan angker di area permakaman memang tidak dimungkiri.
Jakarta (ANTARA) - Museum Taman Prasasti menjadi satu-satunya destinasi wisata berbentuk permakaman yang ada di Indonesia.

Museum yang terletak di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat, itu memang tidak setenar Permakaman Pere Lachaise di Prancis yang diminati wisatawan mancanegara karena menjadi tempat bersemayamnya sejumlah pesohor, seperti musikus Jim Morrison, sastrawan Oscar Wilde, hingga pianis Frederic Chopin.

Namun siapa sangka, Museum Taman Prasasti pada tahun 1990-an menjadi lokasi semadi bagi para pencari keberuntungaan hingga lokasi uji nyali sekitar tahun 2000-an karena misteri yang tersimpan sejak pemerintahan Belanda.

Ahli sejarah mengungkapkan bahwa mitos yang berkembang dari mulut ke mulut tentang salah satu makam Kapitein Jas atau Vader Jas telah menarik masyarakat untuk memanjatkan permohonannya ke makam tersebut.

Ada yang memohon diberikan keturunan, diberikan kelancaran dalam bisnis, bahkan keberuntungan memasang nomor buntut atau lotre legal Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah dikenal SDSB yang booming pada era Presiden Soeharto.

Masyarakat yang datang ke Makam Kapten Jas tidak hanya dari Jakarta saja, tetapi juga luar Ibu Kota untuk bermeditasi dengan menyalakan lilin hingga menaruh sesajen setiap malam Jumat.

Padahal, sosok Kapten Jas itu belum terkonfirmasi kebenarannya. Cerita yang melegenda itu mungkin saja hanya fiksi yang bersumber dari penafsiran warga setempat kala itu.

Dari berbagai versi, umumnya disebutkan bahwa Kapten Jas adalah seorang pendeta, dermawan, dan pengusaha yang menyumbangkan sebagian tanahnya sebagai lahan permakaman.

Yang pasti, makam Kapten Jas adalah satu-satunya makam yang tidak pernah dibongkar dan jenazah yang berbaring di bawahnya tidak pernah diangkut saat Gubernur DKi Jakarta Ali Sadikin meresmikan tempat, yang awalnya bernama Pemakaman Kebon Jahe Kober itu, sebagai Museum Taman Prasasti pada 1977.

Sebelum diresmikan menjadi museum dengan luas lahan 1,3 hektare, Gubernur Ali Sadikin memerintahkan dinas terkait, agar seluruh mayat di dalam kubur diangkut untuk dipindahkan ke taman permakaman umum maupun dikembalikan ke keluarga ahli waris.

Makam Kapiten Jas yang terletak di bagian depan halaman Museum Taman Prasasti tidak dibongkar karena saat itu terdapat pohon besar yang menaunginya.

Makam dengan nisan patung salib bertuliskan tanggal kematian Kapten Jas pada 5 Mei 1768 itu hingga kini menjadi ikon dan narasi utama yang tidak luput diceritakan oleh para pemandu wisata ketika berkunjung ke Museum Taman Prasasti.


Jadi wisata horor

Selain makam Kapten Jas, Museum Taman Prasasti juga menyimpan nisan sejumlah pesohor dan tokoh penting pada masa VOC, seperti Dr. Hermanus Frederik Roll, pendiri Stovia yang merupakan cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ketua Perdagangan VOC AJW van Delden, hingga istri Thomas Stamford Raffles yang merintis pembangunan Kebun Raya Bogor, Olivia Maraimne Devenish.

Makam Olivia Raffles letaknya tidak berjauhan dengan Kapten Jas, yakni berada di bagian depan sehingga menjadi cerita pembuka kepada wisatawan saat berkunjung ke museum.

Namun berbeda dengan wisata museum pada umumnya yang dilaksanakan siang hari, Museum Taman Prasasti pernah menjadi salah satu rute wisata horor Jakarta Mystical Tour yang diadakan oleh sebuah komunitas di Jakarta.

Wisata malam hari tersebut akhirnya dihentikan karena pengelola museum khawatir pengunjung mendapat pengalaman mistis saat berkeliling.

Salah satu televisi swasta juga pernah mengadakan acara uji nyali yang menempatkan peserta di salah satu ruangan berisi peti kayu jenazah sehingga kesan seram berhasil menghantui penonton layar kaca.

Kesan angker di area permakaman memang tidak dimungkiri. Salah satu pengunjung Museum Taman Prasasti, Willy (21), mengaku kesan itu muncul tidak hanya karena banyaknya patung-patung kuno berbentuk malaikat di sekitar makam, tetapi juga dua buah peti jenazah di dalam gazebo.

Kedua peti yang disimpan di kotak mika transparan itu dulunya digunakan untuk membawa jenazah Presiden Pertama RI, Soekarno dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta.

Karena keduanya beragama Islam, peti jenazah tidak dikuburkan dan dihibahkan untuk museum sebagai koleksi benda bersejarah. Meski ada kesan seram, koleksi tersebut menjadi perhatian pengunjung yang tidak mungkin dilewatkan.

Bukannya sebagai edukasi apalagi hiburan, Museum Taman Prasasti telah dibiarkan memiliki kesan angker bertahun-tahun karena mitos mistis di baliknya.

Lokasi museum yang berada di pusat Jakarta juga nyatanya belum mampu menarik jumlah pengunjung lebih banyak. Saat ini, rata-rata kunjungan Museum Taman Prasasti tidak mencapai 200 orang per hari.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan menggencarkan program Wajib Kunjung Museum (WKM) untuk menumbuhkan minat berkunjung ke 11 museum di Jakarta kepada siswa sekolah.


Jadi ruang publik

Kepala Unit Pengelola Museum Kesejahteraan Jakarta Esti Utami menilai bahwa tak hanya Museum Taman Prasasti, tapi hampir seluruh museum di Jakarta memiliki kesan seram.

Fakta bahwa Museum Taman Prasasti menawarkan objek wisata berupa permakaman, semakin menambah sisi seram meski pengunjung tidak mengeluhkan hal itu.

Untuk menghilangkan kesan seram, Pemprov Jakarta berupaya menggandeng komunitas dan banyak pihak agar kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat dapat dihelat, walau tidak ada hubungannya dengan kesejarahan.

Sentuhan teknologi, seperti pameran virtual bisa menjadi alternatif untuk memancing pengunjung dari dunia maya ke tempat aslinya.

Acara musik dengan permainan cahaya juga bisa menarik anak muda dan memberikan atmosfer baru bahwa permakaman tidak melulu sunyi. Lagi pula, Museum Taman Prasasti juga sejatinya bukan lagi berfungsi sebagai pemakaman yang menyimpan jenazah, melainkan wadah menapaktilasi waktu dari koleksi nisan bersejarah.

Pengelola museum melibatkan Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) untuk mengarahkan penempatan nisan lebih menarik sehingga membuat pengunjung lebih terkesan

Ketua IALI DKI Jakarta Evan Sandjaja melihat museum masih dianggap sebagai tempat penyimpanan barang saja. Padahal dengan area terbuka, potensi kunjungan bisa lebih meningkat karena pengunjung bisa bersantai di bawah pohon rindang, sembari mendengar cuitan burung yang mencari makan.

Untuk membuat museum berkembang, tentunya infrastruktur yang ramah dan terbuka untuk publik harus dibangun dengan mengajak berbagai pemangku kepentingan, seperti komunitas, asosiasi profesi, dan akademikus.

Pada pameran evolusi Museum Taman Prasasti yang sedang berlangsung hingga 9 Desember mendatang, pengelola menggelar yoga bersama dan lomba karate anak di bagian halaman museum.

Kedua acara tersebut memang tidak ada hubungannya dengan sejarah, namun menjadi awal ketertarikan publik untuk mengunjungi museum.

Selain menjadi ruang publik, perubahan besar Museum Taman Prasasti diharapkan bisa menjadi peran, kesan, dan pesan penting bagi pengunjung melalui perjalanan tata pamer yang saling berkesinambungan.












 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023