Dengan demikian kita masih mengalami fenomena suku bunga Fed yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama
Jakarta (ANTARA) -
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) pada semester II-2024.
 
Pasalnya, penurunan inflasi di beberapa negara maju, termasuk AS, masih berjalan lambat pada tahun depan, meski pengetatan kebijakan moneter telah terjadi sangat agresif.
 
"Dengan demikian kita masih mengalami fenomena suku bunga Fed yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama (higher for longer)," ucap Perry dalam konferensi pers Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023 di Jakarta, Rabu.
 
Sebagai implikasinya, kata dia, imbal hasil surat utang AS masih terus meningkat karena pembengkakan utang Negeri Adidaya. Meski begitu, ia berpendapat perkiraan penurunan bunga acuan Fed tersebut masih di atas target karena harga energi pangan global yang masih tinggi dan pasar tenaga kerja di Negeri Paman Sam yang masih ketat.

Baca juga: BI akan pertahankan suku bunga di 2024 karena global masih bergejolak

Baca juga: BI sebut lima sinergi kebijakan untuk atasi gejolak ekonomi global
 
Perry menuturkan kondisi suku bunga Fed yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama merupakan salah satu karakteristik ketidakpastian yang masih tinggi dan gejolak ekonomi global di tahun depan.
 
Selain suku bunga Fed dan inflasi, karakteristik ketidakpastian lainnya yang dihadapi seluruh negara saat ini yakni pertumbuhan ekonomi yang lambat dan berlainan, dimana terdapat kemungkinan pertumbuhan global akan menurun ke 2,8 persen pada 2024, sebelum meningkat ke level 3 persen pada 2025.
 
Sementara itu, sambung dia, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan masih baik, China melambat, serta India dan Indonesia tumbuh tinggi.
 
Selanjutnya, kondisi kuatnya dolar AS yang mengakibatkan depresiasi nilai tukar seluruh dunia, termasuk rupiah, turut menjadi ciri ketidakpastian yang dihadapi dunia.
 
Lalu, terdapat pula fenomena kaburnya modal asing dalam jumlah besar dari negara pasar berkembang ke negara maju, yang sebagian besar beralih ke AS karena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar.
 
Menurut Perry, berbagai ketidakpastian dan gejolak global tersebut berdampak negatif ke seluruh negara dunia, tak terkecuali Indonesia.
 
"Semua ini perlu kita waspadai dan antisipasi dengan respons kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan nasional yang sudah susah payah kita bangun," tuturnya.

Baca juga: BI rencanakan perluas layanan QRIS ke India hingga Uni Emirat Arab

Baca juga: BI: Aliran modal asing masuk ke Indonesia capai Rp7,03 triliun

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023