Jakarta (ANTARA) -
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bonivasius Prasetya Ichtiarto menyatakan perguruan tinggi bisa menjadi pusat inovasi untuk mengentaskan stunting.
 
"Perguruan tinggi adalah pusat terciptanya inovasi. Masalah stunting bukan hanya dari satu sisi, tetapi dari berbagai macam disiplin ilmu, sehingga perlu kerja sama berkelanjutan dari berbagai perguruan tinggi di berbagai disiplin ilmu, karena ini tidak hanya masalah kesehatan, tetapi psikologi juga ada di sana," kata Bonivasius dalam siniar yang diikuti di Jakarta, Kamis.
 
BKKBN menggelar seminar hasil pendampingan perguruan tinggi kepada kabupaten/kota dalam rangka percepatan penurunan stunting secara daring untuk mendorong kerja sama dan kontribusi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi.
 
"Pendampingan kabupaten/kota oleh perguruan tinggi dilakukan sejak tahun 2022, dan sudah ada di 34 provinsi dengan 317 kabupaten/kota yang sudah didampingi," ucap Boni.
 
Dari hasil pendampingan yang sudah dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut, dihasilkan rekomendasi kebijakan berdasarkan kewilayahan, yang dikelompokkan per pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua.
 
"Rekomendasi kebijakannya pencegahan pernikahan dini dan pengembangan layanan, karena kalau pernikahan dini dibiarkan, anak-anak yang dilahirkan bisa stunting, dan percuma kalau kita sudah berusaha menurunkan tetapi tumbuh (stunting) yang baru lagi," ujar dia.
 
Kemudian, rekomendasi kedua yakni pengembangan layanan prakonsepsi (pemeriksaan kesehatan untuk perencanaan kehamilan) pada calon pengantin dan remaja putri, oleh karena itu, tim pelaksana pendampingan perguruan tinggi memilih calon pengantin remaja sebagai target kegiatan tersebut.
 
"Proses konsepsi merupakan momen reproduksi yang sangat penting, yang mengawali terjadinya kehamilan sehingga diperlukan layanan prakonsepsi bagi para calon pengantin tersebut," tuturnya.
 
Ia menjelaskan, pada awal kehamilan terjadi apa yang disebut implantasi, dimana sel telur dengan calon janin menempel ke dinding rahim, juga peristiwa plasentase atau terbentuknya plasenta.
 
"Keberhasilan (pembentukan plasenta) ini sangat menentukan perkembangan janin pada masa prakonsepsi, yang merupakan peluang bagi keberhasilan program intervensi. Calon pengantin wanita adalah sasaran yang paling tepat untuk intervensi gizi prakonsepsi, karena mereka adalah calon ibu hamil," paparnya.
 
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan adanya upaya kolaborasi dari berbagai pihak dari unsur pentahelix mulai dari pemerintah selaku pemangku kepentingan, masyarakat, perguruan tinggi, media, hingga pelaku usaha untuk mengentaskan stunting dari hulu.
 
"Stunting seperti efek domino yang terus berulang, jadi jika kita tidak memutus mata rantainya maka akan muncul lagi. Remaja juga perlu dilibatkan menjadi bagian penting, karena mereka ada di hulu dan merekalah yang menjadi penerus," kata dia.
 
Untuk itu, ia berharap, perguruan tinggi bisa terus fokus dan secara berkelanjutan mendampingi para remaja, serta memberikan pemahaman dan pengertian terkait penyebab, dampak, dan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian stunting.
 
"Kita ada generasi berencana, dan kita bisa melihat bagaimana begitu semangat dan kuatnya energi dari anak-anak remaja kita. Kalau itu bisa kita manfaatkan dalam upaya pencegahan penurunan stunting, dampaknya akan luar biasa," demikian Bonivasius.

Baca juga: Kepala BKKBN: Pemberian makanan untuk stunting tak boleh dipolitisasi

Baca juga: BKKBN: Jumlah keluarga berisiko stunting turun di akhir tahun 2023

Baca juga: BKKBN soroti tujuh provinsi dengan kasus stunting tinggi

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023