Jakarta (ANTARA) - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah 27 kali menggelar konferensi perubahan iklim yang biasa disebut COP atau Conference of The Parties, sebelum COP28 yang sedang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab, dari 30 November sampai 12 Desember nanti.

Memang ada banyak terobosan, tetapi kerap tak terwujud di lapangan.

Baru ketika dunia semakin tidak ramah kepada kehidupan yang membuat banyak orang lantang menyuarakan upaya keras melawan perubahan iklim saja, COP dilihat menjadi semakin penting.

Pengambil keputusan tertinggi dalam Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang ditandatangani dalam KTT Bumi di Brasil pada 1992 itu menjadi forum berbagai negara dan individu dalam merundingkan nasib Bumi.

COP28 menjadi jauh lebih penting lagi setelah tahun ini Bumi mencatat suhu terpanas sepanjang masa, sehingga memicu kebakaran, banjir dan badai yang semakin dahsyat di seluruh dunia.

PBB sendiri telah mengingatkan bahwa Bumi bakal mengalami pemanasan sampai sebesar 2,5-2,9 derajat Celsius. Angka ini melebihi target Perjanjian Paris pada 1,5 derajat Celsius di atas tingkat sebelum era revolusi industri, atau biasa ditulis 'tingkat pra-industri' saja.

Yang menjadi perhatian paling besar adalah emisi yang sudah nyaris tak bisa dikendalikan, ketika ironisnya dunia getol menyuarakan target emisi nol.

Para aktivis iklim seperti Greta Thunberg kerap mengkritik negara-negara dan kalangan bisnis yang menurutnya lebih berusaha menunjukkan komitmennya kepada perubahan iklim, tapi sebenarnya tidak mengambil langkah melawan perubahan iklim.

Thunberg dan para aktivis lingkungan menamakan keadaan itu dengan "greenwashing", atau cuci tangan lingkungan dengan seolah-olah berkomitmen kepada lingkungan tapi sebenarnya tak menjawab persoalan lingkungan.

Tak heran, COP sering dikritik sebagai arena basa-basi yang mengulang komitmen lama, dengan tujuan menaikkan citra ramah lingkungan belaka. Forum ini dikritik karena menjadi ajang menyampaikan hal ideal tentang apa yang sebaiknya dilakukan manusia, tapi sebenarnya tak mengubah keadaan planet Bumi menjadi lebih baik.

Kritik mereka berpangkal kepada komitmen COP terhadap energi fosil.

Sudah 27 COP diadakan oleh PBB dan sebanyak itu pula komunike dalam setiap konferensi, tak pernah benar-benar menyinggung "bahan bakar fosil."

Padahal, PBB sendiri mengungkapkan bahwa 75 persen emisi gas rumah kaca global dan 90 persen emisi karbon dioksida, bersumber dari bahan bakar fosil, yakni batu bara, minyak bumi dan gas.

Emisi gas rumah kaca yang di antaranya dihasilkan oleh bahan bakar fosil itu membuat panas Matahari terperangkap di atmosfer sehingga Bumi semakin panas untuk ditinggali. Bencana alam pun menjadi jauh lebih dahsyat dan muncul tak teratur.


Bahan bakar fosil

Apakah COP28 bisa membuat negara-negara berani menyatakan ketergantungan kepada bahan bakar fosil harus dihentikan?

Sejauh ini baru COP26 di Glasgow yang eksplisit menyampaikan ajakan menjauhi bahan bakar fosil, dan itu pun terbatas pada "batu bara".

Kini, dalam COP28, ada tekanan lebih hebat yang menginginkan forum ini fokus menyoroti semua bahan bakar fosil.

Masalahnya, bukan hanya produsen bahan bakar fosil yang terusik oleh fokus itu, tapi juga negara-negara berkembang yang tergantung kepada bahan bakar fosil.

Negara-negara berkembang bukannya tak mau meninggalkan ketergantungan kepada bahan bakar fosil. Mereka tak memiliki dana cukup dan energi alternatif selain fosil. Apalagi, kawasan seperti Afrika hanya menyumbangkan 4 persen dari total emisi dunia.

Itu sebabnya, negara-negara berkembang berpandangan bahwa pihak yang berperan dalam menyebabkan perubahan iklim adalah negara-negara kaya, karena mereka menjadi penghasil dan penikmat terbesar energi fosil.

Bagi negara-negara berkembang, negara-negara besar penghasil dan pengguna energi fosil mesti memberikan teladan kepemimpinan dalam memerangi perubahan iklim.

Negara-negara besar penghasil emisi terbesar dunia juga mesti memberikan kompensasi kepada negara-negara berkembang yang terdegradasi oleh lingkungan yang memburuk karena ulah negara-negara besar

Dalam kerangka ini, tak terkecuali dalam COP28, mutlak ada pembicaraan mengenai dana kompensasi akibat emisi yang memicu perubahan iklim.

Soal ini sebenarnya sudah disepakati dalam COP27. Di sini, negara-negara kaya mesti membayarkan kompensasi kepada negara-negara miskin yang terdampak perubahan iklim.

Namun negara-negara kaya enggan menanggung tanggung jawab atas emisi yang mereka buat itu.

Pada 2009, negara-negara maju berjanji memberikan 100 miliar dolar AS (Rp1.548 triliun) per tahun kepada negara-negara berkembang pada 2020, untuk membantu negara-negara itu mengurangi emisi dan bersiap diri menghadapi perubahan iklim.

Target itu ternyata meleset pada 2020, kendati menurut sejumlah kalangan, mungkin sudah tercapai pada 2022.

Dalam perspektif ini, COP28 mesti membantu menetapkan langkah selanjutnya demi mewujudkan komitmen 100 miliar dolar AS per tahun tersebut.


Konflik kepentingan

Bagian lain dari COP28 yang dikritik sejumlah kalangan adalah presidensi Uni Emirat Arab dalam forum ini.

Negara ini adalah salah satu dari 10 negara penghasil minyak terbesar di dunia, tapi disebut-sebut gagal mencapai target energi bersihnya sendiri.

Keheranan semakin besar setelah Uni Emirat Arab menunjuk Sultan al Jaber, untuk mengetuai COP28. Padahal Al Jaber adalah kepala eksekutif perusahaan minyak Uni Emirat Arab, ADNOC.

Para aktivis lingkungan melihat situasi itu sebagai benturan kepentingan. Aktivis iklim Greta Thunberg bahkan menyebutnya "konyol".

Kabarnya, 100-an politisi Amerika Serikat dan Uni Eropa berusaha menggulingkan Sultan Al Jaber, tetapi tak berhasil.

Sementara itu, sejumlah pihak yang berusaha positif melihat Uni Emirat Arab, justru menganggap Sultan Al Jaber dan presidensi Uni Emirat Arab dalam COP sebagai nilai lebih konferensi tahun ini.

Kehadiran Sultan Al Jaber dan Uni Emirat Arab yang menjadi ketua COP, justru bisa membuat pesan-pesan COP didengar oleh industri bahan bakar fosil.

Terlebih Al Jaber juga aktif mempromosikan energi hijau, setidaknya dari fakta dia adalah pendiri perusahaan energi terbarukan bernama MASDAR yang berkantor pusat di Abu Dhabi.

Di atas itu semua, COP28 diharapkan mewujudkan tujuan membatasi kenaikan suhu global jangka panjang hingga 1,5C, yang sebenarnya sudah disetujui oleh hampir 200 negara di Paris pada 2015.

Target 1,5C sangat penting demi menghindari dampak buruk perubahan iklim yang semakin dahsyat saja.

Pemanasan jangka panjang saat ini mencapai sekitar 1,1C atau 1,2C dibandingkan dengan masa pra industri, tapi prediksi terkini menunjukkan dunia bakal mengalami pemanasan 2,4 hingga 2,7 derajat Celcius sampai 2100.

Menurut PBB, kecenderungan seperti itu membuat peluang mempertahankan batas 1,5C semakin tipis.

Apakah keadaan Bumi yang sudah kian kritis ini akan disikapi dengan tepat dan langkah riil oleh COP28? Kita tunggu sampai putaran pembicaraan iklim ini berakhir 12 Desember mendatang.

Jika energi fosil disinggung dalam forum ini, maka ada pertanda baik dalam konferensi itu. Tapi jika tidak, suara sinis "greenwashing" bisa kian nyaring terdengar dalam setiap konferensi iklim.

Copyright © ANTARA 2023