Jakarta (ANTARA News) - Umat Islam diminta tidak terus menangisi hilangnya tujuh kata dari Piagam Jakarta dan terjebak dalam pertarungan psikopolitik yang justru membuat umat Islam tak bisa mengimplementasi nilai-nilai Islam. "Piagam Jakarta itu masa lampau, jika umat terus bertarung antara Piagam Jakarta dengan Pancasila itu justru merugikan umat sendiri," kata anggota DPR dari fraksi Golkar, Slamet Effendi Yusuf, dalam seminar Masalah Keislaman dalam Konteks Ke-Indonesiaan di Jakarta, Minggu. Pancasila, ujarnya, justru memberi banyak tempat bagi umat untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dibanding dengan meributkan Piagam Jakarta yang menjadikan tujuh kata itu seolah seperti hantu. Piagam Jakarta itu sendiri merupakan sebuah dokumen yang tidak lain adalah Pembukaan UUD 1945 yang ada sekarang minus tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Sewaktu pengumuman UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, tujuh kata itu dicoret dan diganti dengan "Yang Maha Esa" setelah kalimat "Negara berdasar atas Ketuhanan." dan menimbulkan perdebatan panjang hingga kini. Ia juga mengingatkan syariat Islam jangan diartikan secara sempit hanya soal menghukum orang berjudi, tetapi juga diartikan luas seperti peningkatan mutu pendidikan, karena pendidikan juga merupakan perintah Islam. "Kita dorong daerah untuk memasukkan nilai-nilai Islam seperti nilai-nilai keadilan, tetapi tak perlu menekankan bahwa ini adalah Perda Syariat Islam, cukuplah Perda anti-maksiat, dari situlah nilai-nilai Islam masuk," katanya. Hukum nasional, ujarnya, pasti bersumber dari hukum-hukum spiritual masyarakatnya, jadi sudah pasti nilai-nilai Islam yang dianut warganya telah masuk dalam hukum nasional. (*)

Copyright © ANTARA 2006