Gaza, Palestina (ANTARA) - Pasukan Israel terus melakukan pengeboman udara dan darat di Jalur Gaza selatan hingga menewaskan dan melukai puluhan warga Palestina, dengan mengabaikan Amerika Serikat dan PBB yang berulang kali mendesak mereka untuk melindungi warga sipil.

Padahal, sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat, telah mengatakan serangan Israel di wilayah selatan tidak akan mengulangi jumlah korban sipil yang “besar” seperti yang terjadi di wilayah utara.

Namun, warga dan jurnalis di lapangan mengatakan serangan udara Israel membombardir wilayah selatan wilayah pesisir yang padat penduduknya termasuk wilayah tempat Israel telah memerintahkan warga untuk mencari perlindungan. 

Di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Sekretaris Jenderal Antonio Guterres mendesak Israel untuk menghindari tindakan lebih lanjut yang akan memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza --yang dikuasai Hamas, dan agar warga sipil tidak semakin menderita.

"Sekretaris Jenderal sangat khawatir dengan kembalinya permusuhan antara Israel dan Hamas … Bagi orang-orang yang diperintahkan untuk mengungsi, tidak ada tempat yang aman untuk pergi dan sangat sedikit tempat untuk bertahan hidup," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.

Israel telah menguasai sebagian besar bagian utara Gaza pada November, dan sejak gencatan senjata selama sepekan  berakhir pada Jumat (1/12), mereka dengan cepat bergerak maju ke bagian selatan.
 
Sayap bersenjata Jihad Islam, sekutu Hamas, mengatakan para pejuangnya terlibat dalam bentrokan sengit dengan tentara Israel di utara dan timur Khan Younis, kota utama di selatan Gaza.

Tank-tank Israel telah memasuki Gaza, melintasi perbatasan, dan memutus jalur utama utara-selatan, kata warga. Militer Israel mengatakan jalan utama dari Khan Younis ke utara "merupakan medan perang" dan sekarang ditutup.

Philippe Lazzarini, yang mengepalai badan PBB untuk pengungsi Palestina di Gaza (UNRWA), mengatakan dimulainya kembali operasi militer Israel mengulangi "kengerian dari beberapa pekan terakhir" dengan menggusur orang-orang yang sebelumnya menjadi pengungsi.

Ia juga menyebutkan bahwa operasi itu menyebabkan rumah-rumah sakit dipadati orang dan semakin menghambat operasi kemanusiaan yang tercekik akibat persediaan yang terbatas.

"Perintah evakuasi mendorong masyarakat untuk berkonsentrasi di wilayah yang luasnya kurang dari sepertiga Jalur Gaza. Mereka membutuhkan segalanya: makanan, air, tempat berlindung, dan sebagian besar keselamatan. Jalan-jalan ke selatan dihambat," kata Lazzarini.

Sebanyak 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza telah meninggalkan rumah mereka dalam delapan pekan perang, yang telah mengubah wilayah itu menjadi hampa.

Pada Senin (4/12), Israel memerintahkan warga Palestina untuk meninggalkan sebagian Khan Younis, yang mengindikasikan bahwa mereka harus bergerak menuju pantai Mediterania dan menuju Rafah, sebuah kota besar di dekat perbatasan Mesir.

Warga Gaza yang putus asa di Khan Younis mengemasi barang-barang mereka dan menuju Rafah. Sebagian besar berjalan kaki, melewati reruntuhan bangunan dalam gelombang yang penuh kepasrahan dan nyaris hening.

Lazzarini mengatakan perintah untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman tidak menjamin perlindungan bagi warga sipil.

"Kami telah mengatakannya berulang kali. Kami mengatakannya lagi. Tidak ada tempat yang aman di Gaza, baik di selatan, atau barat daya, baik di Rafah maupun di 'zona aman' yang diklaim secara sepihak (oleh Israel)," katanya.

Sumber: Reuters

Baca juga: Pasukan Israel tembaki ambulans di Jalur Gaza

Baca juga: Serangan Israel di Gaza selatan bisa paksa 1 juta pengungsi ke Mesir


 

Krisis air bersih, warga Gaza terpaksa gunakan air laut


 

Penerjemah: M Razi Rahman
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2023