Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyatakan bahwa kerugian yang timbul akibat konsumsi rokok lebih besar dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok.

"Biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok tiga kali lipat lebih tinggi daripada cukai yang diterima negara," kata Eva dalam diskusi bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Selasa.

Eva mengutip hasil studi mengenai biaya kesehatan untuk penanganan penyakit akibat rokok tahun 2020 yang menyebutkan bahwa pada tahun 2017 penerimaan dari cukai hasil tembakau sebanyak Rp147,7 triliun, sedangkan nilai kerugian ekonomi makro yang timbul akibat konsumsi rokok mencapai Rp 431,8 triliun.

Menurut hasil studi itu, ia mengatakan, ada total 4,9 juta kasus penyakit akibat rokok dengan 209.429 kematian pada tahun 2017.

Menurut dia, ada 21 penyakit yang disebabkan oleh penggunaan produk tembakau dan 11 di antaranya merupakan penyakit kanker.

Guna menurunkan angka kejadian penyakit akibat merokok, Kementerian Kesehatan berupaya menurunkan prevalensi perokok berusia 10 sampai 18 tahun menjadi 8,7 persen sesuai target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

"Kita fokus pada penurunan prevalensi merokok anak dan remaja, karena terjadi kenaikan prevalensi merokok remaja yang cukup tinggi dari tahun 2013 ke tahun 2018. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, faktornya dari banyaknya iklan dan promosi rokok," ujar Eva.

Ia menambahkan, prevalensi perokok di kalangan anak dan remaja tercatat meningkat dari 1,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Eva juga menyampaikan bahwa Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan mengamanatkan penyusunan aturan mengenai pengendalian penggunaan zat adiktif berupa produk tembakau dan pemerintah sedang menyusun rancangan peraturan pemerintah soal itu.

Menurut dia, Kementerian Kesehatan melibatkan organisasi profesi, pakar kesehatan, koalisi pengendali tembakau, masyarakat korban rokok, dan forum anak dalam penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang zat adiktif berupa produk tembakau.

Selain itu, ia mengatakan, pemerintah mempelajari praktik-praktik baik yang dijalankan di negara-negara anggota ASEAN dan G20.

"Untuk menuju Indonesia Emas 2045 dalam menghasilkan masyarakat sehat, kita baru bisa apabila mengurangi risiko perilaku yang mengurangi hidup sehat, termasuk salah satunya merokok. Ekonomi maju tetapi kalau kesehatan masyarakatnya turun kan sia-sia," katanya.

Dia mengemukakan pentingnya kerja sama berkelanjutan antar-pemangku kepentingan dan masyarakat untuk menekan konsumsi rokok dalam upaya untuk mewujudkan masyarakat yang sehat.

Baca juga:
Kemenkes : Aturan soal tembakau tidak hilang dalam RPP Kesehatan
Muhammadiyah: Kolaborasi jadi kunci kurangi penggunaan produk tembakau

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2023