Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan bahwa hilirisasi harus dilakukan secara selektif dan fokus terhadap produk yang ingin ditingkatkan nilai tambahnya agar maksimal.
 
"Kita tidak bisa melakukan hilirisasi di semua hal, apalagi di tengah global village. Dunia semakin menjadi satu, sentra produksi ada di berbagai belahan dunia, tidak semua hal bisa dilakukan oleh satu negara," kata Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko dalam simposium praktisi dan periset ekonomi di Jakarta, Rabu.
 
Handoko menuturkan negara sebesar Amerika Serikat dan China sekalipun tidak mampu melakukan semua hal.

Baca juga: BRIN: Zona pekarangan tantangan utama jaga buah lokal

Baca juga: BRIN bantu perkuat landasan pemerintahan digital pada 2024
 
Raksasa pabrik chipset TSMC membuat chipset untuk Apple maupun Snapdragon yang dipakai oleh Android. Kedua merek itu membuat chipset di satu pabrik yang sama.
 
Menurut Handoko, Indonesia harus mampu memilah dan memilih fokus hilirisasi yang memang masih kompetitif, mampu bersaing, dan memiliki target level.
 
Dalam sektor pertambangan nikel, Handoko pernah ditanya tentang hilirisasi nikel tersebut apakah sampai baterai. Dia menjadi tidak mungkin, sebab Indonesia paling banter harus sampai lembaran sel.
 
"Karena begitu masuk baterai, masuk packing, itu sudah sangat costomise. Jadi, tergantung manufaktur yang akan memakai dan itu sangat kecil-kecil. Jadi, tidak akan mungkin kita harus menjadi produsen generik dari selnya yang akan memasok ke seluruh belahan dunia," kata Handoko.
 
Di sektor pertanian, selektif dalam melakukan hilirisasi juga penting, salah satunya memproduksi obat kina untuk kemandirian kesehatan di dalam negeri.
 
Handoko mengungkapkan kemandirian memang harus dicapai, tetapi dalam konteks riset, para ilmuwan harus bisa menciptakan berbagai hal, namun produk itu tidak harus diproduksi di dalam negeri jika bisnisnya belum nampak.

Baca juga: BRIN dukung pembentukan kebijakan antariksa 2045

Baca juga: BRIN beri penghargaan pada tokoh kedirgantaraan Harijono Djojodihardjo
 
Hilirisasi pertanian terkhusus kina belum memungkinkan, karena produksi di dalam negeri hanya 10 juta ampoule. Sedangkan China memproduksi 1 miliar ampoule kina yang didistribusikan ke seluruh dunia yang membuat harganya bisa mencapai Rp1.000.
 
Kalau Indonesia memproduksi kina sendiri bisa Rp5.000 dan jika dipaksakan bisa memberatkan para pasien dan fasilitas kesehatan.
 
"Kami menyiapkan kemampuan untuk memproduksi kina itu sendiri. Jadi, kalau ada sesuatu, ada apa-apa, ada geopolitik yang berubah kita bisa mandiri. Tapi, untuk saat ini kalau ada yang lebih murah, yang kita ambil yang lebih murah, karena kita harus mempertimbangkan supply chain di layer bawah," pungkas Handoko.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023