Di banyak 'headline', kita melihat bahwa tensi geopolitik semakin bergerak 'inward-looking'
Bali (ANTARA) - Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa fragmentasi geoekonomi yang terjadi saat ini memunculkan berbagai tantangan bagi perekonomian dunia dan Indonesia.

Sri Mulyani menilai fragmentasi global yang terjadi saat ini utamanya merupakan rambatan dari tensi geopolitik yang memanas dan persaingan industri teknologi, meskipun juga dipengaruhi oleh beberapa fenomena ekonomi beberapa tahun lalu seperti Britain Exit (Brexit).

“Kita telah menyaksikan ekonom global yang berkembang menjadi lebih kompleks. Di banyak headline, kita melihat bahwa tensi geopolitik semakin bergerak inward-looking,” kata Sri Mulyani saat menjadi pembicara kunci dalam Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) 2023 di Kabupaten Badung, Bali, Rabu.

Tantangan pertama, menurutnya, yakni fragmentasi geoekonomi akan mengakibatkan ketidakpercayaan antarnegara. Hal tersebut akan berujung pada terbatasnya perdagangan antarnegara karena tidak adanya kepercayaan dengan negara lain.

Hal itu akan berujung pada disrupsi rantai pasok global (global value chain) karena negara-negara barat cenderung untuk beralih ke kerja sama ekonomi regional atau bilateral (on-shoring ke friend-shoring).

Baca juga: Kemenkeu gelar AIFED 2023 bahas fragmentasi ekonomi global

Baca juga: Kementerian Keuangan raih penghargaan ZI menuju WBK dan WBBM


Fragmentasi tersebut dikhawatirkan menjadi pemicu banyak negara menciptakan blok-blok regional sendiri.

“Oleh karena itu, on-shoring menjadi friends-shoring dan hal ini menciptakan dinamika perdagangan dan investasi yang sangat berbeda,” jelas Bendahara Negara itu.

Tantangan kedua, yaitu ketika negara-negara memprioritaskan kepentingan masing-masing dibandingkan tindakan kolektif, terdapat risiko terkikisnya struktur tata kelola global. Proteksionisme itu akan berimbas pada terhambatnya perdagangan internasional.

Lebih lanjut, Sri Mulyani juga menjelaskan fenomena baru yang dinamakan tekno-nasionalisme di negara-negara maju yang menjadi ancaman terhadap kerja sama multilateral.

Hal itu dipicu oleh kekhawatiran terhadap kedaulatan ekonomi, dominasi teknologi, dan keamanan nasional sehingga negara-negara tersebut bersaing untuk menjadi yang paling maju dalam pemanfaatan teknologi.

"Contohnya Tech Cold War antara Tiongkok dan US yang mendorong kemajuan inovasi domestik, kontrol terhadap ekspor dan membatasi transfer teknologi ke negara lain," ujarnya.

Di tengah tekanan fragmentasi geoekonomi, Indonesia terus menunjukkan kinerja yang relatif stabil dan baik. Sri Mulyani menyampaikan hal itu tercermin dari perekonomian Indonesia yang tumbuh sekitar 5 persen dalam delapan kuartal terakhir. Kebijakan fiskal terbukti efektif memainkan peran penting untuk meredam guncangan, menjaga stabilitas nasional sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang solid.

"Indonesia terus memainkan peran konstruktif meskipun lanskap global sangat sulit dan menantang serta terus berubah. Sesuai dengan konstitusi, kami akan terus memainkan peran konstruktif dengan memastikan bahwa dunia akan terus dibangun berdasarkan perdamaian, kedaulatan dan kesetaraan," katanya.

Baca juga: Menkeu: RI berkontribusi 15 persen pada Pasar Karbon Sukarela Asia

Baca juga: Menkeu: Produktivitas dan inovasi kunci negara berpendapatan tinggi

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023